JAKARTA – Pemerintah menyatakan bahwa luasan perkebunan sawit di Tanah Air yang telah mengantongi sertifikat sawit lestari Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) mencapai 2,35 juta hektare (ha) dengan total produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebesar 10,20 juta ton per tahun. Produksi CPO nasional tahun ini diperkirakan mencapai 40 juta ton, atau tumbuh sekitar 5,26% dari produksi 2017 yang sebesar 38 juta ton.
Hingga 18 September 2018, pemerintah melalui Komisi ISPO telah menyerahkan.413 sertifikat ISPO kepada 397 perusahaan perkebunan sawit, satu asosiasi pekebun swadaya, dua KUD pekebun swadaya, dan tiga KUD plasma. Sebanyak 67 sertifikat ISPO di antaranya diserahkan Komisi ISPO pada Selasa (18/9) kepada 65 perusahaan perkebunan sawit dan dua koperasi pekebun (petani) dengan total luasan tertanam mencapai 253.867 ha dan produksi CPO sebesar 669.888 ton yang setara dengan produksi tandan buah segar (TBS) sebanyal 4.245.606 ton per tahun. Penyerahan sertifikat dilakukan oleh Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang.
Kepala Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat, usai diskusi dan penyerahan sertifikat ISPO, menyatakan, Komisi ISPO berkomitmen melakukan percepatan sertifikasi ISPO. Upaya itu mulai dari peningkatan pemahaman dan kepedulian perusahaan perkebunan untuk sertifikasi ISPO, pemberdayaan pekebun menuju ISPO, peningkatan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah (pemda) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP KS), hingga koordinasi intensif dengan lembaga sertifikasi. “Di sisi lain, kerja sama dengan lembaga internasional maupun LSM untuk pemberdayaan pekebun, promosi, dan diplomasi,” ujar dia.
Sedangkan Dirjen Perkebunan Kementan Bambang mengatakan, proses dan sistem sertifikasi ISPO yang berjalan saat ini sudah sesuai ketentuan yang berlaku. Saat ini, justru diperlukan komitmen dari multipihak untuk mendukung percepatan sertifikasi ISPO dengan tetap menjunjung tinggi kredibilitas, integritas, dan kualitas sertifikat ISPO agar diterima di pasar global. ISPO adalah komitmen negara agar perkebunan kelapa sawit dilaksanakan dengan tata kelola yang baik, ramah lingkungan Indonesia, sesuai peraturan yang berlaku dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Mari beri dukungan konkret agar seluruh perkebunan sawit Indonesia bersertifikat ISPO. Setop komentar buruk terhadap ISPO,” kata Bambang. Bambang mengatakan, prinsip dan kriteria ISPO didasarkan pada aturan yang berlaku di Indonesia, mengacu pada 16 UU dan turunannya, lebih kompleks, dan bersifat mandatory, harus dipatuhi, serta memperlakukan prinsip keadilan bagi pekebun. Apabila ada satu prinsip dan kriteria saja yang tidak bisa dipenuhi maka sertifikat belum bisa diberikan. Ada pihak-pihak yang menganjurkan ISPO mengkloning SVLK (Sistim Verifikasi Legalitas Kayu), hal ini sama sekali tidak tepat karena sangat berbeda. “Sistem ISPO lebih kompleks, didesain untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit. Dengan mematuhi semua peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, menerapkan tiga pilar prinsip keberlanjutan, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan,” kata Bambang.
Setelah mengantongi sertifikat ISPO, ujar Bambang, meski TBS sudah dipanen dan CPO dipasarkan, tata kelola dan budidaya perkebunannya tetap harus sesuai dengan kaidah-kaidah praktik perkebunan yang baik (good agriculture practice/GAP). Di sisi lain, menerapkan prinsip-prinsip, kriteria, dan indikator dalam ISPO. Pada saat bersamaan, tetap dilakukan surveilans setiap tahunnya oleh auditor Lembaga Sertifikasi (LS) maupun auditor internal ISPO dari perusahaan yang mana setiap perusahaan wajib memiliki minimal dua auditor internal. “Peran pemerintah dalam hal ini Ditjen Perkebunan Kementan adalah menjaga, mengawal, dan melakukan pembinaan mengenai tata kelola perkebunan kelapa sawit seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan,” kata Bambang.
Kampanye Negatif
Terkait kampanye negatif atas minyak sawit, Bambang mengatakan, hal itu diciptakan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan industri sawit Indonesia maju. Dalam kasus tersebut, bukan ISPO yang harus melawan kampanye negatif tersebut. ISPO adalah solusi membenahi proses budidaya dan tata kelola kebunsawitdi Indonesia agar sawit nasional tidak lagi diidentikkan dengan isu deforestasi, hak azasi manusia, kebakaran, maupun kerusakan lingkungan. |Memang benar, sampai kiamat pun, sawit akan dilawan karena merupakan komoditas paling produktif dan efisien. Karena persaingan dagang, semakin ditanggapi, semakin mereka senang. ISPO ada supaya tidak ada celah bagi kampanye negatif. Kita negara besar tapi dianggap kecil oleh orang lain. Karena itu, kalau kita tidak solid, ikut melecehkan ISPO, bagaimana orang lain mau menghargai ISPO?” kata Bambang.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, sejumlah regulasi masih menjadi penghalang percepatan sertifikasi ISPO. Termasuk, masalah tumpang tindih izin, penetapan lahan dengan hak guna usaha (HGU) ke dalam kawasan hutan, hingga aturan tata ruang di daerah. Untuk itu, diperlukan leadership dan juri untuk menyelesaikan masalah tersebut, sangat tidak adil apabila tiba-tiba ada lahan yang sudah memiliki HGU puluhan tahun dinyatakan menjadi hutan. “Ini masalah yang terus berlanjut dan sampai sekarang tidak ada solusinya. Perlu ada debottlenecking regulasi yang saling konflik, harmonisasi aturan. Leadership tidak harus Presiden, karena Presiden tidak bisa memberikan perintah teknis,” kata Joko.
Di sisi lain, Joko menambahkan Gapki terus mendorong agar seluruh perusahaan anggotanya segera 100% bersertifikat ISPO. Saat ini, anggota Gapki mencapai 693 perusahaan dan yang sudah bersertifikat ISPO 255 perusahaan, yang sedang proses 42 perusahaan. “Sebanyak 396 perusahaan lainnya belum bersertifikat ISPO. Kita kejar Gapki 100% ISPO segera,” kata Joko.
Damiana Simanjuntak
Sumber: Investor Daily Indonesia