Ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya dari Indonesia menuju India
masih diliputi ketidakpastian, kendati RI telah merelakan bea masuk gula mentah asal Negeri Bollywood untuk diturunkan.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Ranya Laksmi mengaku belum mendapatkan informasi mengenai indikasi kesediaan Pemerintah India untuk menurunkan bea masuk minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), terutama produk turunannya dari Indonesia.

Kondisi ketidakpastian itu masih saja terjadi meskipun Indonesia telah bersedia menurunkan bea masuk gula mentah asal India untuk balian baku gula kristal rafinasi dari 10% menjadi 5%.

Menurutnya, India masih menuntut hal yang lebih besar dalam hal perdagangan bilateral dengan Indonesia, sebagai syarat menurunkan bea masuk komoditas kelapa sawit.

Pasalnya, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan dengan India sebesar US$2,40 miliar pada Januari-April 2019. Capaian tersebut turun 8,62% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

“Saya melihat, mereka masih meminta hal yang lebih besar dari Indonesia selain menurunkan bea masuk gula mentah sebab neraca perdagangan mereka masih defisit dengan kita,” jelasnya, Senin (1/7).

Hal itu, menurutnya, membuat Indonesia masih sulit untuk mendapatkan perlakuan serupa dengan yang diterima oleh Malaysia dari India.

Sebagai perbandingan, CPO asal Indonesia dikenai bea masuk 40% oleh In- dia, sedangkan
produk turunannya 50%.

Sebaliknya, Malaysia mendapatkan tarif berbeda setelah menjalin pakta dagang MICECA dengan Negeri Bollywood mulai awal tahun ini.

Perjanjian dagang itu membuat bea masuk CPO dari Malaysia sebesar 40% dan produk turunannya sebesar 45%.

“Mereka masih berkeras melindungi industri minyak nabati nonsawit dan industri pengolahan minyak nabatinya sehingga sangat sulit sekali melobi mereka agar menurunkan bea masuk, produk turunan CPO,” lanjut Ranya.

PENGENAAN PAJAK

Kondisi itu diperparah oleh rencana Pemerintah India untuk mengenakan pajak pertambahan nilai sebesar 10% untuk produk minyak sawit olahan yang diimpor.

Seperti dikutip dari Economic Times pada 1 Juli 2019, Ketua Komisioner Bidang Agrikultura Negara Bagian Maharasthra Pasha Patel mengatakan, para pejabat India telah sepakat untuk mengenakan pajak tersebut.

Keputusan tersebut diambil setelah mempertimbangkan peningkatan volume impor minyak sawit olahan sejak diberlakukannya bea masuk khusus dari Malaysia, pasca diterapkannya MICECA pada awal tahun ini.

Berdasarkan data dari Solvent Extractors Association India, impor produk CPO olahan India melonjak dari 130.000 ton pada Desember 2018 menjadi 350.000 ton pada Mei 2019.

Untuk itu, lanjut Kanya, saat ini upaya yang ditempuh untuk mengurangi bea masuk CPO dan produk turunannya di India tidak lagi hanya dapat dilakukan melalalui jalur pemerintah ke pemerintah.

Dia mengatakan, saat ini para pengusaha CPO Indonesia tengah melakukan pendekatan kepada para importir di India untuk melobi pemerintah India.

“Sudah sangat sulit jika pendekatannya government to government. Saya yakin dengan fenomena melonjaknya impor produk CPO olahan dari Malaysia, India tidak akan mau dengan mudah menurunkan bea masuknya untuk produk dari Indonesia,” katanya.

Saat ini, lanjutnya, Dewan Minyak sawit Indonesia (DMSI) telah aktif melakukan pendekatan kepada sejumlah asosiasi importir CPO di India.

Asosiasi itu a.l. Solvent Extractors Association (SEA) India, dan Solidaridad Network Asia Limited (SNAL).

Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Dewan Minyak sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengakui, guna membuka jalur ekspor menuju India, memang diperlukan perlakukan khusus.

Dia menyebutkan, saat ini DMSI terus melakukan pendekatan kepada perusahaan domestik India untuk meningkatkan permintaannya terhadap CPO dan produk turunannya dari Indonesia.

“Kita upayakan promosi kepada importir di India, bahwa dari segi legalitas dan standar keberlanjutan seperti ISPO dan RSPO, produk kita jauh lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Jadi kita melobi pemerintah India dari dalam dan luar sekaligus,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, fenomena melonjaknya impor produk olahan CPO dari Malaysia, yang berdampak kepada rencana pengenaan pajak pertambahan nilai akan membuat pangsa pasar ekspor produk olahan asal RI semakin suram.

Dia mengatakan, kebijakan pengenaan pajak 10% tersebut merupakan \’akal-akalan\’ India untuk tetap menjaga industri minyak nabati domestik dari serbuan produk impor asal Indonesia dan Malaysia.

“Jadi, meskipun nanti bea masuk produk olahan CPO kita turun, jatuhnya harga jual ke konsumennya akan tetap mahal. Mau tidak mau, konsumen di negara itu akan beralih ke komoditas lain seperti minyak kedelai,” katanya.

Untuk itu, dia mendesak agar Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan yang lebih agresif kepada pemerintah India.

Dia mendukung upaya DMSI untuk melakukan pendekatan dari sisi konsumen dalam negeri India, demi meningkatkan tekanan kepada Mumbay agar bersedia menurunkan bea masuk produk olahan CPO.

“Dari segi ongkos produksi dan harga produk olahan CPO kita saja masih lebih mahal dari Malaysia. Kalau disparitas bea masuk produk CPO kita dengan Malaysia masih tinggi, ditambah pula nanti ada pajak tambahan di dalam negeri India, maka berakhirlah ekspor kita ke negara itu,” tegasnya.

Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, Indonesia harus pintar membaca dinamika politik di India.

Kemenangan kembali Narendra Modi sebagai Perdana Menteri India, akan membuatnya sedikit melunak untuk mengambil kebijakan yang populis guna mengerek dukungan kepadanya.

“Pendekatan yang dilakukan Presiden Joko Widodo kepada Narendra Modi di G20 untuk meminta penurunan bea masuk CPO sudah tepat. Tinggal bagaimana intensitas kita untuk terus melobi negara tersebut,” jelasnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo, mengatakan upaya lobi-lobi masih terus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan bea masuk CPO dan produk turunannya.

Hal itu telah dilakukan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam kunjungannya ke India pada Februari tahun ini.

“Pendekatan secara intensif masih kami lakukan. Sudah ada komitmen informal dari pemerintah negara tersebut mengenai penurunan bea masuk. Kita tunggu saja hasilnya nanti,” jelasnya.

Wakil Ketua Umum Gapki Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang sebelumnya mengatakan, hingga akhir 2019, kinerja ekspor komoditas andalan RI itu masih akan dibayangi oleh tren penurunan harga.

Kendati ekspor CPO dpaat meningkat secara volume, capaian dari sisi harga akan terus melemah lantaran adanya kelebihan pasokan minyak sawit dunia dan meningkatnya kampanye negatif terhadap komoditas itu.

Dia memperkirakan, hingga akhir tahun ini, harga CPO di pasar global tidak akan bergerak terlalu jauh dari kisaran US$470/ton.

“Harga komoditas ini masih bertahan di level rendah dan ada kecenderungan terus turun. Sulit kalau untuk nilai ekspor dari produk ini naik hingga akhir tahun, meskipun secara volume bertambah,” katanya, Minggu (30/6).

Bagaimanapun, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Rasan Muhri optimistis harga CPO dan produk turunannya masih dapat bergerak naik hingga akhir tahun ini. Situasi itu dipercayanya dapat membantu mengerek nilai ekspor komoditas andalan RI tersebut.

“Masih ada peluang untuk harga CPO dan turunanya naik hingga akhir tahun sehingga nilai ekspor kita juga akan terkerek. Pemerintah masih memiliki kebijakan implementasi B30 yang diharapkan dapat menyerap pasokan CPO nasional sehingga bisa menimbulkan sentimen positif di pasar CPO dunia,” katanya.

Namun, dia mengaku belum dapat menyebutkan berapa kisaran kenaikan harga serta nilai ekspor CPO dan produk turunannya hingga akhir tahun ini.

Dia menyebutkan, Kemendag masih terus melakukan perhitungan terkait dengan hal tersebut.

 

Sumber: Bisnis Indonesia