Jakarta – Pengamat ekonomi Bustanul Arifin memprediksi hingga 10 tahun mendatang, volume dan nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih akan terus meningkat. Hal itu dikatakannya di Jakarta dalam rangka menanggapi data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada 2017 mengalami surplus 11,84 miliar dolar AS.

Pada 2016 nilai ekspor minyak sawit dan produk turunannya (tidak termasuk biodiesel dan oleochemical) sebesar 18,22 miliar dolar AS, tahun ini melejit di angka 22,97 miliar dolar atau naik sekitar 26 persen.

Guru besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) itu mengaku tak terkejut dengan angka yang dirilis BPS tersebut, karena volume ekspor minyak sawit berbanding lurus dengan produksi.

“Saya tidak terlalu kaget dengan angka-angka itu, karena sawit itu nilai ekspornya berbanding lurus dengan produksi, apalagi harga rata-ratanya juga meningkat. Dan tren kenaikan ekspor ini di 2018 masih akan terjadi karena cuaca juga mendukung,” katanya, disalin dari Antara.

Namun demikian, dia mengingatkan kepada para pelaku usaha dan pemerintah bahwa isu “sustainibility” atau keberlangsungan masih akan terus menjadi kendala. “Ini harus diselesaikan. Pemerintah harus terus melakukan diplomasi dagang. Kalau tidak, potensi devisa yang sangat besar ini bisa saja sirna. Karena ini merupakan salah satu hambatan dagang, tariff barrier,” katanya

Selain itu, pemerintah harus gencar membuka pasar-pasar ekspor baru, misalnya negara-negara di Afrika Tengah, Afrika Selatan, negara pecahan Rusia, negara-negara di Timur Tengah yang dinilai sebagai pasar prospektif.

Namun demikian, Bustanul juga mengingatkan agar pasar-pasar tujuan ekspor tradisional seperti Eropa Barat, AS, Jepang, India, Pakistan, China tidak ditinggalkan. “Kita harus cerdas dan cerdik dalam mengembangkan pasar baru yang potensial, tapi jangan sampai lengah dengan meninggalkan pasar tradisional. Sebab kalau lengah, peluang itu akan hilang,” katanya. Menurut dia, berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri sawit akan terus dilancarkan karena persaingan dagang minyak nabati yang semakin ketat. “Dalam kondisi ini, pemerintah harus lebih jeli dalam melihat permasalahan dan tidak mengeluarkan regulasi-regulasi yang justru menghambat perkembangan industri sawit yang notabene merupakan mesin penghasil devisa terbesar dalam menyokong perekonomian nasional,” tutur Bustanul.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyatakan, hingga kini Indonesia masih terpaku pada pasar tradisional yang mencapai sekitar 70 persen dari total negara tujuan ekspor.

“Kita dari dulu masih tidak terbuka untuk pasar baru. Pakistan, Eropa Timur, Afsel, Afrika Utara ini juga sangat potensial. Oleh karena itu tahun 2018 harus buka pasar altematif itu,” katanya.

Selain itu, tambahnya, pemerintah harus bisa melakukan diplomasi dagang dengan negara tujuan ekspor, sebab setiap negara selalu menerapkan tarif dan non tarif. Amerika Serikat misalnya, saat ini menerapkan kebijakan perdagangan yang lebih protektif.

Saat ini AS telah menerapkan lebih dari 2.000 hambatan non tarif, China punya 4.000 hambatan non tarif, sementara Indonesia hanya memiliki 299 hambatan non tarif. “Itu yang menyebabkan kita tidak bisa masuk ke pasar mereka. Kita harus memperkuat diplomasi perdagangan baik secara bilateral maupun multilateral sehingga hambatan non tarif tadi bisa berkurang,” katanya.

Indonesia yang memiliki sawit sebagai komoditas potensial, menurut Bhima, harus tetap dijaga dan diperjuangkan, terutama dalam sengketa dagang di forum WTO. Pemerintah Indonesia dan Malaysia, sebagai dua negara penghasil utama minyak sawit dunia harus bersama-sama melakukan diplomasi.

Pemerintah harus lebih aktif lagi di forum WTO agar bisa menang dalam menghadapi sengketa dagang. “Apalagi selama kita kekurangan tim banding di WTO sehingga untuk menghadapi sengketa dagang, ini harus diperkuat. Market intelegen kita juga kurang. Padahal ini sangat penting,” katanya.

Kalangan produsen benih siap mengamankan program peremajaan atau replanting perkebunan sawit rakyat 2018 seluas 185 ribu hektare melalui Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP-KS).

Ketua Forum Komunikasi Produsen Benih Kelapa sawit Indonesia (FKPBKSl) Dwi Asmono menyatakan, sumber benih siap memenuhi kebutuhan benih untuk program peremajaan kebun rakyat yang diperkirakan mencapai 27 juta batang. “Setiap tahun potensi produksi kebun sumber benih bisa mencapai 120 juta kecambah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan benih 27 juta bukanlah hal yang sulit. Apalagi saat ini Indonesia telah memiliki 15 produsen benih,” katanya.

Selama ini, lanjut Dwi yang juga Direktur Riset and Development PT. Sampoerna Agro, TBk itu, sebagian besar produsen benih memasarkan benih dalam bentuk kecambah. Namun jika dibutuhkan, produsen benih beserta mitranya melalui kegiatan waralaba siap melakukan penangkaran.

 

Sumber: Harian Ekonomi Neraca