JAKARTA – Di tengah terhambatnya ekspor minyak sawit dan produk turunannya asal Indonesia ke sejumlah negara, impor minyak nabati non sawit justru mengalami kenaikan signifikan pada tahun ini.

Lonjakan impor minyak nabati khususnya terjadi pada komoditas minyak ropeseed dan minyak bunga matahari. Padahal, kedua komoditas tersebut selama ini dianggap sebagai kompetitor bagi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya di sejumlah kawasan, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor minyak nabati nonsawit sepanjang Januari- September 2018 menembus 36.472 ton dengan nilai kontrak sejumlah US$40,4 juta.

Capaian tersebut meningkat dari periode yang sama tahun lalu, yaitu saat volume impornya mencapai 24.666 ton dan nilai kontraknya sejumlah US$40,49 juta.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (G1MNI) Sahat Sinaga mengatakan, kenaikan impor minyak nabati nonsawit terjadi pada jenis berjenis minyak rapeseed, minyak bunga matahari, minyak kedelai, dan minyak zaitun. Menurutnya, hal tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah.

Pasalnya, dia menilai, impor produk yang banyak diproduksi di Eropa tersebut masih terlalu mudah untuk masuk ke dalam negeri.

“Seharusnya dengan tren impor [minyak nabati nonsawit] yang semakin naik, harus semakin diperhatikan pula oleh pemerintah. Terlebih ekspor CPO kita di luar negeri masih terhambat dan pasokan di dalam negeri berlebihan,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (28/10).

Sahat menjelaskan, bea masuk (BM) komoditas minyak nabati nonsawit di Indonesia saat ini terbilang rendah, yakni 5%.

Di sisi lain, harga produk tersebut di pasar global saat ini juga relatif rendah, seiring dengan kelebihan pasokan minyak rapeseed dan minyak bunga matahari di daratan Eropa.

Kondisi kelebihan pasokan minyak nabati di Eropa tersebut sejalan dengan kenaikan volume impor minyak nabati nonsawit dari Belanda. Sepanjang Januari-September 2018, BPS mencatat volume impor produk tersebut dari Negeri Kincir Angin mencapai 1.663 ton, melonjak drastis dari capaian pada periode yang sama tahun lalu yang hanya 25 kilogram.

Sahat menambahkan, lonjakan impor minyak nabati nonsawit juga dipengaruhi oleh pergeseran tren makanan masyarakat Indonesia yang mulai gemar mengonsumsi sajian ala Barat.

“Makanan seperti salad membutuhkan campuran minyak seperti rapeseed oil dan soybean oil.”

Lebih lanjut, dia menyoroti kecenderungan lonjakan impor minyak nabati nonsawit pada tahun ini justru terpantau paling banyak masuk melalui negara-negara tetangga Indonesia, sesama produsen kelapa sawit

Berdasarkan data BPS, impor minyak nabati nonsawit selama Januari-September 2018 paling banyak didatangkan dari Malaysia sejumlah 13.148 ton, Papua Nugini 7.363 ton, dan Thailand 6.185 ton.

“Saya juga bertanya-tanya kenapa para importir lebih gemar mengimpor dari negara tetangga. Akan saya periksa nanti,” lanjutnya.

TURUNKAN TARIF

Untuk itu, Sahat pun mendesak pemerintah agar bea masuk minyak nabati nonsawit dinaikan menjadi 20% dari tarif saat ini sebesar 5%.

Kendati impor produk tersebut tidak terlalu besar dari Eropa, lanjutnya, strategi menaikkan bea masuk bisa menjadi salah satu bekal bagi Indonesia untuk melobi Uni Eropa agar melonggarkan kembali akses ekspor CPO dari Indonesia.

Tidak hanya itu, menurutnya, kenaikan bea masuk minyak nabati nonsawit bisa menjadi solusi untuk menekan impor Indonesia, terutama dari negara-negara tetangga.

Sementara itu, Sahat menambahkan, kendati nilai ekspor minyak goreng berbahan baku sawitRI mengalami penurunan, ekspor produk tersebut tetap mengalami kenaikan secara volume. Menurut data G1MNI, volume ekspor minyak goreng sawit naik 7% secara year on year (yoy) sepanjang Januari-September 2018.

Adapun, berdasarkan data BPS, selama Januari-September 2018, ekspor minyak hasil olahan RI mencapai US$24,63 juta atau terkoreksi 28,19% dari tahun lalu yang mencapai US$34,29 juta.

“Penurunan nilai ini disebabkan oleh melemahnya hana CPO global dan juga soybean oil. Sehingga, meskipun volume [ekspor CPO] kita naik, secara nilai akhirnya tetap turun,” jelasnya.

Untuk itu, dia mengaku sedang berupaya melobi para pengusaha CPO untuk meminta pemerintah menurunkan pungutan keluar komoditas nabati tersebut dari US$20/ton menjadi sekitar US$2/ ton-US$5/ton.

Menurutnya, langkah itu akan membuat margin usaha para pelaku bisnis minyak goreng sawit menjadi lebih tinggi, sehingga tetap dapat bersaing di pasar global, kendati harga CPO dunia sedang mengalami pelemahan.

Di sisi lain, ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menyebutkan, kenaikan bea masuk impor minyak nabati nonsawit memang bisa menekan impor Indonesia.

Terlebih, produk tersebut bukan kebutuhan pokok Indonesia dan dapat digantikan atau disubstitusi oleh produk lain dari dalam negeri.

“Tetapi setidaknya kenaikan bea masuk bisa jadi treatment bagi negara produsennya seperti Uni Eropa, dan bisa menjadi bahan lobi-lobi kita [RI] ke Uni Eropa agar CPO kita bisa kembali dilonggarkan aksesnya/ jelasnya.

Saat ditemui secara terpisah. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan mengatakan, impor produk minyak nabati nonsawit belum terlalu mendesak untuk dibatasi.

Pasalnya, nilai transaksi impor produk tersebut terbilang masih kecil dan belum mengganggu pasar produk minyak nabati buatan domestik.

“Untuk skema pembalasan atau retaliasi, karena CPO kita dihambat oleh Uni Eropa, saya rasa tidak terlalu efektif. Sebab, Uni Eropa saat ini lebih bermain di kampanye negatif terhadap CPO. Jadi akan lebih efektif jika kita melawan dengan kampanye positif CPO,” jelasnya.

Oke juga memprediksi, kenaikan konsumsi minyak nabati nonsawit di Indonesia masih akan terbatas. Pasarnya, produk tersebut cenderung lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah ke atas.

Sebelumnya, hambatan dagang Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia memasuki babak baru pas-caperencanaan skema Indirect Land Use Change (ILUC) untuk melaksanakan program Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. 0

Memuluskan Impor Kompetitor CPO

Pengusaha minyak nabati berbasis kelapa sawit di Indonesia mengeluhkan lonjakan impor minyak rapeseeddan bunga matahari, yang diduga terjadi akibat terlalu rendahnya bea masuk komoditas-komoditas tersebut. Padahal, di berbagai negara, CPO Indonesia dihambat karena dianggap mengganggu pasar minyak rapeseed dan bunga matahari.

 

Sumber: Bisnis Indonesia