Beberapa langkah strategis diambil Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit untuk memperlancar penerapan kebijakan B20.

Pencampuran biodiesel dengan bahan bakar fosil mampu menghemat konsumsi bahan bakar fosil yang serba terbatas. Untuk mendorong penggunaan biodiesel, lahir kebijakan Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Perpres tersebut menyebutkan, sejak 1 September 2018, bahan bakar campuran 80 persen solar dan 20 persen biodiesel berlaku bagi seluruh pengguna bahan bakar solar, baik yang disubsidi (public service obligation/PSO) maupun non-PSO. Artinya, bila berjalan lancar, semua SPBU tidak menyediakan lagi solar murni tetapi menjadi biosolar. Semua kendaraan dan alat bermesin diesel terkena kewajiban ini.

Sebulan pasca penerapan kebijakan B20, tentu masih ada kendala dan hambatan dalam distribusi B20. Apalagi area wilayah Indonesia yang memang sangat luas, dan kesulitan teknis menjangkau daerah terpencil. Durasi perjalanan ke wilayah yang jauh sulit diprediksi, terutama bila melalui laut, keterbatasan jumlah kapal pengangkut, sarana dan fasilitas terminal BBM yang sulit terjangkau hingga antrian sandar dan bongkar muat.

Khusus untuk angkutan laut, penyediaan kapal tidak bisa dilakukan dalam satu-dua hari. Pengadaan kapal bisa memakan waktu hingga 14 hari.

Meski demikian, penyaluran FAME {Fatty Acid Methyl Ester) atau biodiesel yang terbuat dari sawit dan menjadi campuran solar terus diupayakan semaksimal mungkin. Catatan Pertamina per 25 September 2018, pasokan FAME ke terminal bahan bakar minyak sudah mencapai 224.607 kiloliter atau sekitar 62 persen dari target. Kendala distribusi yang terjadi terus dikoordinasikan oleh pelbagai pihak terkait agar bisa diselesaikan sehingga distribusi FAME makin luas hingga pelosok Indonesia.

Kendala lain, BU BBM (Badan Usaha Bahan Bakar Minyak) tidak memiliki fasilitas blending sehingga FAME yang sudah dikirim BU BBN (Badan Usaha Bahan Bakar Nabati) tidak bisa dicampur. Selain itu, masih ada pengguna yang tidak mau memakai B20. Di sisi lain, ada juga pengguna yang tidak mendapat suplai B20.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) berupaya mengatasi kendala ini, agar Perpres tersebut berjalan maksimal. Salah satunya dengan menyalurkan dana insentif biodisesel.

“Kami siap mendukung program B20 dengan menyalurkan dana insentif biodiesel. Ketersediaan dana bukan jadi masalah,” kata Direktur Utama BPDPKS Dono Boestami. BPDPKS lahir karena Undang-Undang untuk menghimpun dana ekspor minyaksawitmentah, mengelola, dan menyalurkannya untuk berbagai hal termasuk dalam pengembangan biodiesel.

Hingga semester I 2018, BPDPKS berhasil menghimpun dana Rp.6,4 triliun dari pungutan ekspor minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil). Dari angka tersebut, BPDPKS tercatat telah menyalurkan dana insentif biodiesel sebesar Rp.3,57 triliun hingga Juni 2018. Selain sebagai insentif biodiesel, BPDPKS memanfaatkan dana tersebut untuk program peremajaan lahan sawit (replanting), pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit, hingga promosi di dalam dan luar negeri.

BPDPKS juga ikut memberikan edukasi ke masyarakat melalui layanan call centre 14036. Layanan ini menyediakan informasi mengenai pemanfaatan biodiesel dalam program B20. Masyarakat juga dapat mengakses situs resmi BPDPKS di laman http//www.bpdp . or.id untuk mengetahui perkembangan informasi terkini mengenai B20.

Di lapangan, pemerintah juga memantau dan mengontrol Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang belum menyediakan B20. Bila SPBU tidak menyediakan B20 karena tidak mematuhi kebijakan maka akan diberikan sanksi sesuai ketentuan.

Apabila BU BBM tidak melakukan pencampuran, dan BU BBN tidak dapat memberikan suplai FAME ke BU BBM akan dikenakan denda yang cukup berat, yaitu Rp 6.000 perliter. Menurut Dono Boestami, sejauh ini belum ada BU BBM dan BU BBN yang dikenai sanksi.

“Dengan segala upaya yang dilakukan para pemangku kepentingan, ketergantungan pada konsumsi bahan bakar tak terbarukan bisa makin berkurang,” kata Dono.

 

Sumber: Majalah Tempo