JAKARTA – Implementasi sejumlah kebijakan seperti pengenaan PPh barang impor dan program bauran bahan bakar B20 serta tren penurunan defisit ekspor impor membuat pemerintah optimistis neraca perdagangan akan membaik dan kembali surplus pada akhir tahun.

Badan Pusat Statistik, Senin (17/9) melansir data ekspor impor Agustus 2018 di mana defisit transaksi perdagangan tercatat US$1,02 miliar, turun dibandingkan dengan posisi US$2,03 miliar pada Juli 2018.

Nilai defisit pada Agustus itu disebabkan oleh posisi neraca ekspor yang tercatat sebesar US$15,82 miliar atau lebih rendah dibandingkan dengan nilai neraca impor sebesar US$16,84 miliar.

Meskipun masih defisit, sejumlah barang impor justru mencatatkan penurunan a.l. impor konsumsi turun 9,19% menjadi US$1,56 miliar, impor bahan baku juga turun 7,60% menjadi US$12,66 miliar dan impor barang modal turun 8,98% menjadi US$2,62 miliar.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan penurunan impor tersebut bisa menjadi sinyal positif dari sejumlah kebijakan pemerintah untuk mengurangi impor. Dia meyakini penurunan defisit akan dapat terlihat dalam waktu dekat, yakni bulan depan.

Seperti diketahui, pemerintah telah berusaha menahan gempuran produk impor agar tidak membebani neraca dagang dan transaksi berjalan. Langkah tersebut dilakukan melalui sejumlah kebijakan seperti menerapkan kenaikan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 2,5%-7,5% terhadap 1.147 barang konsumsi.

Selain itu, dia yakin penerapan bauran bahan bakar nabati menggunakan minyaksawit(B20) akan mengurangi permintaan terhadap impor minyak Solar. Dalam catatan BPS, impor minyak Solar US$2,8 miliar pada Januari-Agustus 2018.

Dengan demikian, Suhariyanto masih meyakini keseluruhan neraca perdagangan Indonesia bisa berbalik surplus pada sisa 4 bulan ke depan. “Masih ada kesempatan, kami optimistis lho,” katanya di Jakarta, Senin (17/9).

Mengacu pada data BPS, pada periode Januari-Agustus 2018, neraca perdagangan Indonesia masih defisit sebesar US$4,08 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu, neraca perdagangan tercatat surplus US$9,06 miliar.

Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah tetap memperhatikan dampak kinerja perdagangan terhadap neraca pembayaran.

“Kami akan terus memonitor perkembangan terkait dengan neraca pembayaran terutama defisit transaksi berjalan. Dari sisi nonmigas, sudah mengalami surplus,” ungkapnya seusai rapat kerja di DPR, Senin (17/9).

Data BPS menunjukkan neraca dagang sektor nonmigas per Agustus berada di posisi surplus US$630 juta.

Dia pun menyoroti impor migas yang masih cukup tinggi sehingga neraca perdagangan mengalami defisit. Impor migas per Agustus 2018 masih meningkat 14,50% menjadi US$3,05 miliar, berbeda dengan impor nonmigas yang turun 11,79% menjadi US$13,79 miliar.

Namun, Sri Mulyani menuturkan pihaknya juga akan mencermati dampak dari pelaksanaan program B20.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan kenaikan impor minyak disebabkan oleh peningkatan kegiatan ekonomi dan naiknya produksi sektor pertambangan yang turut mengerek konsumsi BBM.

Menteri ESDM Ignasius Jonan menambahkan neraca perdagangan migas yang negatif, akan ditutupi dari kinerja sektor pertambangan dengan optimalisasi ekspor batu bara sebesar 100 juta ton.

Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah mendorong perusahaan-perusahaan agar bisa lebih agresif dan ekspansif sehingga mampu memenuhi kebutuhan pasar domestik dan ekspor.

“Dengan menerapkan industri 4.0, aspirasi besar nasional yang akan dicapai adalah membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi pada 2030 dan mengembalikan angka .net ekspor industri 10% dari total PDB,” tutur Airlangga.

TRANSAKSI BERJALAN

Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Andry Asmoro berharap penurunan defisit dagang dapat membantu mempersempit defisit transaksi berjalan pada kuartal 111/2018, seiring telah berlalunya puncak pembayaran utang pemerintah.

Pada akhir 2018, Andry mengungkapkan pihaknya memperkirakan defisit dapat berada di kisaran 2,4% dan cadangan devisa sebesar US$113 miliar.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Dodi Budi Waluyo optimistis defisit transaksi berjalan hingga akhir tahun dapat terjaga di bawah 3%.

Adapun Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meyakini defisit neraca perdagangan Indonesia akan terkikis hingga pengujung tahun ini. Namun, dia pesimistis kondisi itu akan berbalik menjadi surplus pada akhir tahun ini.

“Cukup sulit kalau neraca dagang kita surplus hingga akhir tahun ini, tetapi kalau defisit menipis sangat mungkin. Sebab dampak dari kebijakan pengendalian impor pemerintah ini masih butuh waktu,” ujarnya, Senin (17/9).

Menurut proyeksinya, surplus neraca dagang mungkin saja terjadi pada awal hingga pertengahan 2019. Pasarnya, dia melihat tekanan dari Uni migas masih akan menjadi beban bagi Indonesia untuk menekan impor secara keseluruhan. Terlebih saat ini, harga minyak dunia terus naik dan target lifting minyak 2018 sulit tercapai.

Wakil Ketua Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta W. Kamdani menilai kenaikan PPh impor dan mandatori B20 serta tingkat komponen dalam negeri (TKDN) hanya akan mampu menekan defisit neraca dagang Indonesia.

Pemerintah, lanjutnya, perlu memperbaiki struktur ekspor nasional, dan membantu kalangan usaha menggencarkan penetrasi ke pasar baru serta peningkatan utilitas perjanjian dagang bebas [free trade agreemenf/FTA) yang telah dan akan terjalin pada tahun ini.

Dari kalangan asosiasi, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha KelapasawitIndonesia (Gapki) Togar Sitanggang meminta agar pungutan ekspor kelapa sawit dihilangkan untuk sementara waktu, guna menembus pasar India dan Eropa.

Insentif tersebut akan membantu produk sawit Indonesia bersaing di kancah global dengan Malaysia, yang telah menghapuskan pungutan ekspor sawit. “Kalau itu dihapus, ekspor sawit akan terdongkrak dan akan membantu meningkatkan ekspor nasional,” katanya.

 

Sumber: Bisnis Indonesia