Pemerintah tengah mengkaji pembentukan harga referensi untuk pasar minyak sawit di dalam negeri. Dengan begitu, ke depan Indonesia tidak perlu lagi mengandalkan harga acuan Rotterdam dalam penyusunan kebijakan bea keluar (BK) maupun pungutan ekspor (PE) minyak sawit. Proses studi pembentukan harga referensi tersebut segera dilakukan dengan dipimpin oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, Indonesia mengkaji kemungkinan pembentukan harga referensi untuk pasar minyak sawit. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi mengandalkan harga acuan Rotterdam. Wacana tersebut menjadi salah satu topik pembahasan dalam rapat Komite Pengarah BPDPKS di Kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, Rabu (29/5).

Sahat Sinaga, direktur eksekutif GIMNI. Foto: Investor Daily/Gora Kunjana
Sahat Sinaga, direktur eksekutif GIMNI. Foto: Investor Daily/Gora Kunjana

 

“Rapat belum ada keputusan, yang dibahas salah satunya mengenai pungutan, belum ada usulan juga. Yang jelas, rapat melihat ada banyak persoalan yang perlu diklarifikasi, di antaranya apakah kita masih akan pakai harga acuan Rotterdam? Mengapa tidak (menggunakan harga acuan) domestik?” kata Sahat di Jakarta, kemarin.

Untuk itu, kata Sahat, akan dilakukan studi untuk hal tersebut (pembentuan harga acuan/referensi minyak sawit domestik). Studi dilakukan maksimal dua bulan dengan tim yang akan ditunjuk oleh BPDPKS.

“Studi itu untuk mencari jalan keluar, melihat kebutuhan petani dan pasar, baik di Eropa, India, maupun Tiongkok. Tujuannya kemudian adalah bagaimana konsep kita dengan pengenaan levy (pajak/ PE minyak sawit BPDPKS) sementara hilirisasi tetap jalan. Katanya, studinya dilakukan maksimal dua bulan, setelah itu baru akan ada kebijakan baru (atau sebeliknya),” kata Sahat.

Sampel minyak sawit untuk B20, B30, hingga B100. Foto ilustrasi: Investor Daily/Gora Kunjana
Sampel minyak sawit untuk B20, B30, hingga B100. Foto ilustrasi: Investor Daily/Gora Kunjana

 

Secara terpisah, Direktur Utama PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN/Inacom) Edward S Ginting mengatakan, Indonesia seharusnya sudah dapat menentukan harga referensi. Padahal, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia.

“Sebagai produsen terbesar sawit dunia, Indonesia belum bisa independen dan bergantung pada harga internasional, seperti Bursa Rotterdam dan Malaysia Deriatives Exchange (MDEX),” ungkap Edward.

Menurut Edward, kondisi tersebut tentu sangat ironis. Volume minyak sawit terbesar ada di Indonesia, namun penentuan harganya bergantung ke Malaysia. Karena itu, begitu Malaysia mengenakan pajak nol persen, harga minyak sawit di Indonesia langsung turun.

“Padahal, itu kan harga kertas, bukan fisik. Sawit adalah harta karun kita, harusnya kita jaga, kalau nggak (dijaga dengan harga referensi atau acuan) akan dikerjain trader,” kata Edward.

KPBN sendiri berambisi meningkatkan volume perdagangan minyak sawitnya hingga 2-3 kali lipat, tahun ini ditargetkan mencapai 1,80 juta ton. Upaya tersebut dilakukan dengan menambah pemasok, artinya KPBN tidak lagi hanya memasarkan hasil produksi dari PTPN Group tapi juga produsen minyak sawit swasta di Indonesia.

Dengan penambahan itu, diharapkan KPBN bisa membentuk harga acuan di pasar. KPBN adalah anak usaha PTPN Group yang bergerak sebagai agen perdagangan atau pemasaran dan baru saja melakukan rebranding menjadi Inacom.

Kilang Pertamina. Foto ilustrasi: bumn.go.id
Kilang Pertamina. Foto ilustrasi: bumn.go.id

 

Produk Hilir

Di sisi lain, lanjut Sahat, PT Pertamina (Persero) diharapkan segera menjalankan proyek pengembangan biohidorkarbon. Dengan begitu, serapan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) akan melonjak signifikan dan menopang hilirisasi minyak sawit di Tanah Air. Hal itu menjadi salah satu strategi dalam mengatasi ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor minyak sawit.

“Yang sudah dan akan jalan itu co-processing (pencampuran langsung CPO dan minyak fosil) adalah di Kilang Dumai (diesel nabati, Juli 2019 ), Kilang Plaju (bensin nabati, Juli 2019), dan Kilang Cilacap (avtur nabati, mulai September 2019),” kata Sahat.

Apalagi, lanjut dia, saat ini minyak sawit Indonesi kalah bersaing dengan Malaysia. Di pasar ekspor utama India, selisih harga CPO Indonesia dengan Malaysia untuk saat ini sudah mencapai US$ 27 per ton dengan dikenakannya tarif 5%.

“Malaysa sekarang tetap bisa mengekspor CPO, untuk menjalankan industri hilirnya Malaysia membeli CPO dari Indonesia,” ujar Sahat.

 

Sumber: Investor.id