Jakarta- Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga mengatakan industri produk turunan sawit tetap menjanjikan karena ditopang kenaikan permintaan dari dalam dan luar negeri.

neraca

“Bahkan, saat ini industri hilir sawit tumbuh positif di tahun ini, baik untuk sektor minyak nabati, oleokimia, dan biodiesel,” ungkapnya saat acara silaturahmi bersama media dengan tiga asosiasi industri hilir sawit yaitu Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Lebih lanjut Sahat mengatakan ada sejumlah faktor yang mendukung pertumbuhan positif industri hilir yaitu produk biodiesel tidak lagi dibebani tarif tinggi oleh Uni Eropa, diplomasi dagang pemerintahan Joko Widodo yang sangat aktif, tindakan retaliasi USA dengan sejumlah negara seperti Tiongkok, Meksiko maupun Uni Eropa, dan menguatnya kurs mata uang Amerika Serikat. “Faktor inilah yang membawa angin segar bagi perdagangan sawit di pasar global,” kata Sahat.

Di tempat yang sama, Rapolo Hutabara, Ketua Umum APOLIN, memproyeksikan volume ekspor produk oleokimia tumbuh 22% menjadi 4,4 juta ton, dibandingkan tahun lalu berjumlah 3,6 juta ton. Peningkatan ekspor oleokimia ditopang tren kenaikan konsumsi global produk oleokimia di sektor kosmestik, industri, ban, dan pengeboran minyak.

Di dalam negeri, menurut Rapolo, kegiatan ekspor semakin menarik karena ada investasi baru oleokimia seperti PT Energi Sejahtera Mas dan Unilever. Seluruh faktor ini yang menopang pasokan industri oleokimia Indonesia ke pasar dunia. Nilai ekspor produk olekimia mencapai USS 3,3 miliar pada2017. “Tahun ini, kami perkirakan nilai ekspor naik menjadi 3,6 miliar dolar. Sampai triwulan pertama, volume ekspor oleokimia 1,1 juta ton dengan nilai perdagangan 915 juta dolar, “kata Rapolo.

Di segmen minyak goreng, produk minyak goreng curah akan beralih kepada kemasan. Sahat Sinaga memperkirakan proses transisi ini akan selesai pada 2019.” Nanti tahun 2020 tidak ada lagi minyak goreng yang dijual curah ,” jelasnya.

Pada 2018, konsumsi minyak goreng domestik dikalkulasi mencapai 12,75-9 juta ton, lebih tinggi dari tahun lalu yang sebanyak 11,056 juta ton. “Tahun ini, penggunaan minyak sawit untuk dalam negeri masih didominasi untuk pangan. Dengan rincian, sebanyak 8,414 juta ton untuk makanan dan specialty fats. Sementara itu, 845 ribu ton untuk oleochemical dan soap noodle. Lalu, 3,5 juta ton memenuhi kebutuhan biodiesel,” kata Sahat.

Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI, mengakui tahun tni pemakaian biodiesel di dalam negeri naik sekitar 500 ribu. Kenaikan ini dapat terealisasi asalkan penggunaan biodiesel non-subsidi dapat berjalan. Ditambah dengan pemakaian biodiesel untuk campuran bahan bakar kereta api dan alat berat pertambangan. “Jika konsumsi B-20 dipakai kereta api, maka konsumsi domestik bisa tambah sekitar 200 ribu sampai 500 ribu kiloliter, “ujar Paulus.

Angin segar lainnya adalah WTO memenangkan gugatan Indonesia terhadap kebijakan anti dumping Uni Eropa. Paulus juga menginformasikan bahwa Komisioner Eropa mengirimkan sinyal tidak mendukung resolusi sawit yang diusulkan Parlemen Eropa.

Itu sebabnya, sejumlah produsen biodiesel menjajaki pengiriman biodiesel ke Eropa, yang sempat terhenti beberapa tahun terakhir. “Diproyeksikan ekspor biodiesel Indonesia ke eropa mencapai 500 ribu kiloliter sampai akhir tahun ini. Walaupun, adapula biodiesel yang dijual ke negara lain, tapi jumlahnya kecil,”pungkas Paulus.

Sebelumnya, Wakil Ketua Comite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengatakan sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi untuk bisa mengembangkan industri hilir kelapa sawit untuk meningkatkan nilai tambah.

Saat ini, katanya, industri hilir kelapa sawit Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hal ini tercermin dari rendahnya hak paten yang diajukan Indonesia di industri tersebut.

Berdasarkan data World Intellectual Property Organisation 2011, permohonan paten Indonesia tercatat hanya tiga, jauh di bawah Malaysia sebanyak 79 permohonan, Singapura sebanyak 34 permohonan, dan Thailand sebanyak tiga permohonan.

“Kalau Indonesia tidak hanya menjadi produsen tapi juga hilirisasi akan membuat surplus perdagangan,” katanya.

 

Sumber: Harian Ekonomi Neraca