Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) meminta aturan wajib kemasan minyak goreng harus berjalan. Pasalnya membantu program pemerintah dalam rangka aspek kesehatan dan pemenuhan gizi. 

Tudingan minyak sawit mengandung lemak jenuh sehingga mengakibatkan jantung koroner dan obesitas merupakan akal-akalan pihak asing yang menginginkan minyak sawit ditolak di USA.  Hal tersebut diutarakan Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI),dalam diskusi “Sawit Menjawab Kebutuhan Gizi dan Persoalan Kesehatan’ yang diadakan Majalah Sawit Indonesia, Rabu (6 Maret 2019), di Jakarta.

Menurut Sahat Sinaga isu kampanye hitam pertama kali digunakan oleh pesaing minyak sawit yang dikaitkan dengan gizi dan kesehatan dengan argumen ilmiah yaitu minyak sawit berbentuk padat pada temperatur ruang sehingga dapat menyumbat  pembuku darat yang berakibat pada penyakit jantung koroner.

“Gerakan anti sawit berasal di awali pada 1986 Asosiasi Soyabean Amerika meminta dukungan petani soybean,” tegas Sahat.

Kemudian, Sahat menambahkan minyak sawit merupakan produk yang dapat dikonsumsi bahkan sudah berlangsung ribuan tahun oleh masyarakat di belahan Afrika Barat. Hal ini menguatkan pernyataan Darnomo Taniwiryono Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) yang mengatakan ekstrak minyak sawit merah yang mempunyai kandungan nutrisi yang tinggi dikonsumsi untuk campuran bumbu makanan masyarakat Afrika Barat, yang kemudian diikuti oleh masyarakat Brazil.

Kualitas minyak sawit sama dengan minyak lain yang ada di pasaran diproduksi mengikuti spesifikasi yang dicanangkan oleh CODEX Alimentarius, sebagai regulator minyak nabati yang berafiliasi dengan Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO). “Minyak sawit bukan minyak sawit murahan tetapi terjangkau oleh masyarakat luas karena produktivitas minyak sawit hampir 8-10 kali lebih baik dibanding dengan minyak nabati lain,” pungkas Sahat.

Kelapa sawit yang saat ini menjadi hasil perkebunan unggulan Indonesia mengandung 2 jenis minyak yaitu minyak Palmitic (C-16) dan minyak Lauric (C-12). Dengan komposisi asam lemak (fatty acid). Selaian itu, kelapa sawit juga mempunyai kandungan micronutrisi seperti carotenoids, vitamin E, Omega 6 dan Omega 9.

Pada kesempatan itu, Sahat juga mengamini jika kandungan vitamin A dan Edi dalam minyak sawit dapat menanggulangi masalah stunting di Indonesia. Salah satunya memanfaatkan minyak sawit merah alami. Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang lama.

Minyak sawit mempunyai kandungan vitamin dan nutrisi tinggi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyakarat. Tingginya kandungan vitamin A dan E sangat dibutuhkan mengatasi persoalan gizi buruk dan stunting yang terjadi di Indonesia sekarang ini. 

Selain menyinggung kampanye hitam yang kerap ditudingkan minyak sawit yang menjadi penyebab jantung coroner, dan tingginya nutrisi yang ada pada minyak sawit. Sahat Sinaga yang saat itu menjadi salah satu pembicara di Seminar Gizi Sawit juga mengutarakan pentingnya kemasan minyak goreng sawit (MGS).

Sesuai dengan Regulasi untuk MGS, Permendag No 09/M-DAG/PER/2/2016 tentang wajib kemasan telah mengalami perubahan dan sesuai dengan Permenperin no 21/47/2018 tentang Perubahan SNI Minyak Goreng Sawit wajib dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2020.

Sahat mengharapkan pemerintah jangan lagi mundur dari kewajiban minyak goreng kemasan pada 1 Januari 2020. Para pelaku usaha minyak goreng keanggotaan GIMNI juga meminta pemerintah tetap berkomitmen menerapkan aturan minyak goreng dalam kemasan sesuai yang telah direncanakan.

Dengan diterapkannya kewajiban minyak goreng dalam kemasan, maka tidak ada lagi peredaran atau penjualan minyak goreng dalam bentuk curah. Agar produsen minyak goreng pada aturan wajib kemasan MGS pemerintah diharapkan memberikan insentif.

Selain mewajibkan kemasan minyak goreng untuk mengurangi konsumsi minyak curah, Sahat juga meminta minyak jelantah harus dilarang peredarannya karena berbahaya bagi kesehatan masyarakat. “Kementerian Perdagangan (Kemendag) harus mengawasi peredaran minyak jelantah,” pungkasnya. 

Dan, kemasan MGS harus sesuai dengan SNI secara wajib hingga kini masih dalam pembahasan karena adanya ketetapan minyak sawit itu harus mengandung Vitamin A. Sementara itu, Badan Standarisasi Nasional (BSN) juga sudah menyampaikan dan meminta  stakeholders untuk merespon mulai 18 Februari hingga 18 April 2019 jika banyak yang keberatan maka SNI tersebut akan ditinjau kembali.

Sumber: Sawitindonesia.com