Persoalan tanaman kelapa sawit masih menjadi polemik berkelanjutan, karena satu sisi dinilai sebagai penopang perekonomian Indonesia, tetapi di sisi lain dianggap sebagai penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan di Indonesia.

Menurut GAPKI, di tahun 2018 sumbangan devisa minyak kelapa sawit mencapai US$20,54 miliar atau setara Rp289 triliun. Namun, kerugian yang ditanggung pun dianggap tak ternilai.

Ekspansi kelapa sawit ke dalam hutan dan sistem monokulturnya dianggap sebagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi kualitas ekosistem hutan, dan bencana alam.

Dikatakan Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Riki Frindos, penyelesaian terhadap permasalahan ini memerlukan strategi kebijakan yang komprehensif.

“Bukan hanya menghentikan ekspansi kebun kelapa sawit, tetapi juga bagaimana meminimalisir dampak dari ekspansi, baik terhadap lingkungan, sosial, maupun ekonomi masyarakat,” kata Riki, Palangkaraya, Rabu (18/12/2019).

Melalui Strategi Jangka Benah (SJB), kata Riki, tujuan utama peningkatan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sawit serta komoditas lain secara berkelanjutan dapat tercapai.

Strategi Jangka Benah (SJB)

Dijelaskan Riki, SJB merupakan salah satu upaya yang ditawarkan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada bersama Yayasan Kehati untuk menyelesaikan masalah kebun kelapa sawit rakyat monokultur yang “terlanjur” berada di dalam kawasan hutan.

Jangka Benah adalah periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan.

Dalam SJB, proses perbaikan struktur dan fungsi ekosistem hutan yang rusak akibat ekspansi kebunkelapa sawit monokultur dilakukan secara bertahap, dengan fokus perbaikan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat.

Tahap pertama dalam sosialiasi SJB adalah mengubah kebun kelapa sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri.

 

Sumber: Kompas.com