Seluruh kebun sawit di Tanah Air ditargetkan bersertifikat Indonesian Sustainable palm oil (ISPO) pada 2022 mendatang. Kebijakan sertifikasi ISPO dimulai sejak Maret 2011 dan bersifat wajib bagi semua perkebunan sawit di Indonesia. Saat ini, dari total luas kebun sawit nasional yang mencapai 14,03 juta hektare (ha), seluas 4.115.434 ha di antaranya telah bersertifikat ISPO.
Kepala Sekretariat Komisi ISPO Azis Hidayat memaparkan, selama delapan tahun sejak awal dilaksanakan pada 2011, sebanyak 502 sertifikat ISPO telah diterbitkan dengan rincian sebanyak 493 sertifikat kepada perusahaan, lima kepada koperasi swadaya, dan empat KUD plasma. Total luas lahan untuk 502 sertifikat itu mencapai 4.115.434 ha, seluas 2.765.569 ha di antaranya areal tanaman menghasilkan, dengan total produksi 52.209.749 ton tandan buah sawit(TBS) per tahun atau setara 11.567.779 ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) per tahun. Produktivitas kebun diklaim mencapai 18,81 ton per ha dan rendemen rata-rata 22,23%. “Kami targetkan total kebun sawit nasional bisa bersertifikat ISPO pada 2022. Dengan syarat, semua kementerian dan lembaga berkomitmen dan menjalankan perannya sesuai yang ditugaskan Inpres No 8 Tahun 2018 tentang moratorium sawit dan peningkatan produktivitas,” kata Azis.
Dia menjelaskan, dari total 502 sertifikat ISPO yang diterbitkan, sebanyak 459 sertifikat diberikan kepada perkebunan swasta dengan luas areal 3.905.138 ha, PTP Nusantara 34 sertifikat dengan luas areal 204.590 ha, dan koperasi pekebun plasma-swadaya sembilan sertifikat seluas 5.796 ha. “Partisipasi pelaku usaha dan kinerja sertifikasi ISPO sudah semakin baik. Kami terus melakukan sosialisasi kepada perusahaan dan petani mengenai pentingnya sertifikasi ISPO. Kami juga berikan pendampingan dalam proses sertifikasi. Upaya itu bisa sekaligus menjadi alat kontrol sistem pelayanan publik pemerintah, salah satunya terkait perizinan, misalnya hak guna usaha (HGU) maupun lingkungan. Jadi, peran ISPO cukup strategis atau tidak hanya sekadar sertifikasi,” kata Azis usai Konferensi ISPO di Jakarta, Kamis (28/3).
Pada Rabu (27/3) telah diserahkan 45 sertifikat ISPO yang terdiri atas 43 perusahaan perkebunan dan dua koperasi swadaya. Total luas areal lahan mencapai 287.196 ha dengan 215.463 ha di antaranya adalah tanaman menghasilkan dengan produksi 2.987.522 ton TBS per tahun setara 550.920 ton CPO per tahun. ISPO adalah sertifikasi jaminan produk yang dihasilkan dari kebun sawit yang menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, di antaranya memenuhi syarat legalitas dari sisi izin serta praktik pengelolaan dan budidaya. Sementara itu, dalam catatan Kementan, dari total luas kebun sawit nasional 14,03 juta, sekitar 7,71 juta ha di antaranya merupakan areal perkebunan swasta, perkebunan milik negara seluas 710.169 ha, dan perkebunan rakyat 5,61 juta ha.
Lebih jauh Azis Hidayat mengatakan, sejak ISPO diimplementasikan hingga saat ini terdapat 722 pelaku usaha yang telah memenuhi Per-mentan No 11 Tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi ISPO yang terdiri atas 707 perusahaan, 11 KUD/KSU kebun plasma, satu BUMdes, dan tiga koperasi/asosiasi kebun. Jumlah Laporan Hasil Audit (LHA) yang diterima Sekretariat Komisi ISPO sampai 25 Maret 2019 tercatat 606 laporan, sebanyak 569 LHA tersebut telah diverifikasi Tim Sekretariat Komisi ISPO, sedang diverifikasi ada 14 LHA, belum verifikasi 23 LHA.
Dari 569 LHA itu, 502 sertifikasi ISPO telah diterbitkan dan masih ada SPKD yang belum ditanggapi lembaga sertifikasi tujuh LPA serta 60 LPA masih ditunda karena belum memenuhi persyaratan, misalnya karena masih ada permasalahan terkait hak tanah masih SKT, perpanjangan HGU belum terbit, dan izin pelepasan kawasan hutan belum terbit. Bisa juga karena fasilitasi pembangunan kebun masyarakat 20% belum terealisasi, sengketa lahan belum tuntas, kebun pemasok belum ISPO, perubahan IUP belum terbit, izin pembuangan dan pengangkutan limbah B3 dan izin pemanfaatan limbah cair masih proses, serta upah pekerja tidak sesuai ketentuan.
Hingga akhir 2019, imbuh dia, sertifikasi ISPO ditargetkan mampu menjangkau 5 juta ha kebunsawitdi Tanah Air. Saat ini, terdapat 24-30 LHA dalam proses verifikasi, yang tertunda ada 60-an LHA. “Mudah-mudahan Juni nanti kita targetkan ada sertifikat yang diterbitkan. Kami harapkan sampai akhir tahun ini sertifikat ISPO mencapai 5 juta ha. Yang masih menjadi PR adalah perkebunan rakyat. Negara harus lebih hadir. Kita terus lakukan sosialisasi dan pendampingan untuk proses sertifikasi perkebunansawitrakyat,” jelas dia.
Pencabutan Sertifikat
Dalam kesempatan itu, Azis Hidayat menjelaskan, pihaknya akan mencabut tujuh sertiufikat ISPO. Pencabutan sertifikat dilakukan karena pada saat proses surveilans pemilik kebun atau perusahaan perkebunansawittidak mampu mempertahankan dan memenuhi syarat ISPO yang telah ditetapkan. “Tiga sertifikat ISPO tinggal menunggu surat keterangan (SK) pencabutan tapi sudah diputuskan dicabut, yang empat lagi dalam proses. Ini karena sertifikat ISPO itu berlaku lima tahun, setiap lima tahun ada surveilans oleh auditor. Jika tidak bisa mempertahankan dan melanggar, akan dicabut. Kalau sudah dicabut, mereka harus memulai lagi proses audit dari awal,” kata Azis.
Azis menambahkan, dalam pertemuan antara Dewan MinyaksawitIndonesia (DMSI), The Solvent Extractors Association of India (SEA), dan Solidaridad pada 26 Maret 2019 di Medan, Sumatera Utara, ditandatangani kesepakatan kerja sama. Kerja sama itu terkait upaya membuka akses pasar bagi produk sawit bersertifikat ISPO dengan memberikan insentif. “Joint working group itu akan mengajukan ke pemerintah masing-masing agar bernegosiasi supaya produk sawit bersertifikat ISPO mendapat bea masuk (BM) impor lebih rendah di India. Dalam hal ini, tim negosiasi kita nanti akan dipimpin Kementerian Perdagangan dan diplomasi oleh Duta Besar,” kata Azis.
Sumber: Investor Daily Indonesia