JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menunggu klarifikasi World Health Organisation (WHO) terkait kampanye online minyak kelapa sawit berjudul “Nutrition Advice for Adults during Covid-19” dan “Food and Nutrition Tips During Self Quarantine”. Sebelumnya, induk organisasi sawit di Indonesia ini telah mengirimkan surat kepada Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, WHO Director-General terkait kampanye hidup sehat di kala pandemi Covid 19 di mana salah satu sarannya untuk tidak mengonsumsi produk dari minyak sawit, yang artikelnya diterbitkan perwakilan WHO regional Mediterania Timur (Eastern Mediteranian) dan Eropa tersebut.
“DMSI telah mengirimkan surat protes melalui surat elektronik kepada WHO tanggal 28 April 2020. Dalam surat ini, kami sampaikan keberatan atas flyer WHO yang berisi anjuran agar orang dewasa tidak mengonsumsi minyak sawit dalam menghadapi Covid-19,” ujar Derom Bangun, Ketua Umum DMSI, dalam keterangan tertulis.
Dalam isi suratnya, DMSI menerangkan minyak sawit memilik kandungan saturated fats yang rendah. Dengan mengonsumsi RBD Palm Olein, produk turunan sawit, juga berdampak positif bagi Kesehatan. Minyak sawit jgua memiliki keseimbangan dalam hal asam lemak jenuh dan tidak jenuh.
Di akhir, surat berbahasa inggris ini, DMSI mengajukan pertanyaan krusial: We would appreciate it if you could share with us independently verified scientific evidence why you are advising against consuming Palm Oil during Covid-19.
“Jika tidak ada bukti ilmiah tersebut DMSI mengharapkan agar isi anjuran itu diubah. Sampai hari ini jawaban belum ada diterima,” jelas Derom.
Menurut Derom, dari jawaban WHO akan jelas apakah anjuran itu didasarkan kepada suatu penelitian terhadap Covid-19 atau orang yang terinfeksi Covid-19 yang telah teruji kebenarannya oleh pihak independen. Jika belum ada penelitian, kita curiga bahwa anjuran itu berasal dari warisan lama tentang kampanye anti lemak jenuh dan minyak tropis yang berkembang di sekitar tahun 80-an.
“Dogma yang menjadi dasar kampanye itu sudah tidak sesuai setelah FDA, yaitu pengawas makanan dan obat di Amerika Serikat mengeluarkan peraturan label untuk trans-fat atau lemak trans. Sebenarnya setelah labelling itu kampanye anti lemak jenuh sudah tidak terdengar lagi. Diatas tahun 2000 yang dijadikan kampanye anti minyak sawit sudah beralih ke deforestasi dan masalah sosial,” ujar Derom.
Ia pun teringat makalah Mary G. Enig, akhli biokimia lipida dan ahli nutrisi Universitas Maryland, A.S. yang disampaikan di konferensi kelapa sawit di Bali tahun 1998 yang berjudul “Palm Oil And The Anti Tropical Campaign”.
Ditekankan bahwa kampanye anti minyak minyak tropis bermula dari kebijakan pertanian untuk menghadapi komoditas saingan dari luar negeri utamanya minyak sawit
Diuraikan juga bahwa antara tahun 1966-1998 banyak perdebatan mengenai perbedaan antara lemak jenuh dan lemak trans. Beberapa ahli menemukan bahwa lemak trans yaitu yang berasal minyak produksi lokal Amerika tidak memberi manfaat bagi kesehatan dan telah banyak bukti menunjukkan lemak trans itu meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung yang disebut CHD atau coronary heart disease.
Karena itu disarankan agar mengurangi konsumsi lemak trans di dalam daftar makanan Amerika Serikat. Di Indonesia dapat diamati bahwa sejak tahun 2000 kampanye anti lemak jenuh hampir tidak terdengar lagi dan beralih kepada anti minyak sawit dengan tuduhan deforestasi dan isu-isu sosial. “Jadi sangat mengherankan tiba-tiba muncul melalui WHO anjuran untuk tidak mengonsumsi lemak jenuh seperti minyak kelapa sawit dan kelapa,” tanya Derom.
Sumber: Sawitindonesia.com