Pemerintah menghadiahkan industri biofuel sebesar Rp 2,78 triliun dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Insentif akan dikelola melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun, sejak didirikan, dana tersebut telah didistribusikan kepada perusahaan multinasional untuk memperluas produksi biofuel. Pandemi Covid-19 telah menyebabkan penundaan dalam implementasi insentif biofuel di Malaysia. Namun, Indonesia belum menunda implementasi target biofuel untuk tahun ini.
Dikatakan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, dengan jatuhnya harga minyak, program biofuel Jokowi tidak masuk akal lagi, kecuali tujuannya adalah membuat para taipan kelapa sawit kaya menjadi lebih kaya.
Lebih lanjut kata dia, dana minyak sawit dibangun berdasarkan janji untuk meningkatkan mata pencaharian petani. “Tapi ini tipuan saja. Perusahaan multinasional itu menggunakan alasan virus korona untuk melarang pekerja berkumpul dengan keluarga saat Idul Fitri, tapi mereka juga mendapat dana negara untuk dampak pandemi,” lanjut Darto dalam keterangan tertulis diterima InfoSAWIT, Kamis (18/6/2020).
Pemerintah juga telah meningkatkan retribusi ekspor minyak sawit mentah (CPO) dari US$ 50 per ton menjadi US$ 55 per ton, guna meningkatkan pendanaan untuk dana minyak sawit. Pada 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus dugaan praktik korupsi dalam pengelolaan dan penggunaan dana pungutan industri sawit yang dihimpun oleh BPDPKS dan beberapa pelaku besar industri sawit.
“Korupsi mengancam pembangunan dan memperdalam ketimpangan. Misalnya ketika orang-orang seperti Martua Sitorus, penyandang dana Wilmar dan raja kelapa sawit yang membayar pajak Rp 700 miliar tetapi menerima subsidi Rp 1,2 triliun. Dan ini dianggarkan di APBN, biasanya dana biofuel sudah dipisahkan dari iuran mereka. Tapi iuran mereka tidak cukup, mereka minta dikucurkan dari APBN juga,” kata ekonom Faisal Basri.
Wilmar International adalah penerima manfaat tunggal terbesar dari dana tersebut. Pada 2015/16 pedagang minyak sawit terbesar di dunia ini menerima hampir 55% alokasi dari dana tersebut. Baru-baru ini (2017/18) Wilmar masih menerima hampir 40% dari total alokasi. Penerima manfaat terbesar kedua selama periode ini adalah Musim Mas dengan 17,5% diikuti oleh Darmax Agro sebesar 10,7% dan Sinar Mas 8%.
Sementara diungkapkan, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arkian Suryadarma, para ilmuwan telah menyatakan biofuel bukan solusi dalam menghentikan perubahan iklim, tetapi malah akan memperburuk. Tetapi perusahaan multinasional kelapa sawit telah secara praktis menetapkan aturan dalam dekade terakhir di Indonesia dan mereka tidak peduli.
“Mereka gagal membayar kompensasi atas kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan, memusnahkan hutan tropis dan membuat jutaan anak berisiko terkena dampak kabut asap. Jadi bagaimana pemerintah dapat menjustifikasi menggelontorkan uang ke industri yang menghancurkan negara kita sambil mengucuri dana untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi?,” tandas Arkian. (T2)
Sumber: Infosawit.com