JAKARTA – Akhir-akhir ini sektor perkebunan kelapa sawit kembali mengalami tekanan dan isu negatif, misalnya dari negara Amerika Serikat (AS) terkait adanya kerja paksa sehingga memunculkan pelarangan impor minyak sawit. Namun dengan adanya pergantian presiden dari Trump ke Biden, kebijakan AS mengenai minyak sawit masih ditunggu.
Lantas, proses pengaduan Indonesia ke World Trade Organization (WTO) mengenai diskriminasi produk sawit di Uni Eropam (UE) belum juga selesai, kini muncul dari Swiss, berupa Referendum produk sawit yang diinisiasi LSM Iterre pada bulan Maret mendatang.
Sejatinya beragam isu yang selalu dihembuskan merupakan “isu klasik” lantaran sejak tahun 1989 sampai saat ini hanya isu yang sama terus dianggkat. Padahal upaya perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit sudah dilakukan oleh pemerintah mau pun pelaku usaha baik itu swasta maupun petani.
Upaya perbaikan sangat tampak sejak adanya Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, guna mengentaskan kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 tujuan sedangkan di sektor sawit sudah menerapkan 7 tujuan SDGs.
Merujuk catatan petani kelapa sawit anggota Persatuan Organisasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (POPSI), khusus untuk melidungi lingkungan, secara bertahap namun pasti telah dilakukan pemenuhan standar Renewable Energy Directive (RED) II, Indirect Land Use Change (ILUC), Rundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), khususnya untuk ISPO pemerintah juga memperbaiki standar nya sekarang itu ISPO generasi ke III. Upaya perbaikan sustainable (keberlanjutan) terus dilakukan walaupun berjalan lambat namun pasti, apa lagi penerapan ISPO sudah bersifat wajib bagi perusahaan dan pekebun.
Sementara mengenai isu Referendum petani Swiss, pihak POSPI meminta sebaiknya dilakukan dialog antara petani dengan petani. “Supaya bisa menyelesaikan permasalahan yang ada bukan membuat permasalahan baru atau pemusuhan antar petani,” kata Ketua POPSI, Pahala Sibuea, belum lama ini.
Sementara dikatakan, Pembina POPSI, Gamal Nasir, lantaran posisinya yang lebih unggul dari minyak nabati lain maka sawit selalu diserang dengan berbagai isu negatif seperti isu lingkungan. Masalah utamanya adalah persaingan dagang. “POPSI yang mewadahi 4 asosiasi petani kelapa sawit siap bekerjasama menghadapi berbagai isu negatif,” katanya.
Senada dikatakan Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, banyak negara saat ini termasuk Indonesia sedang mengalami masa krisis. Dalam posisi seperti ini semua negara wajar bila melindungi produk domestik mereka dari impor. Berbeda dengan industry minyak sawit Indonesia yang lebih banyak dikuasai pelaku usaha besar, maka komoditas pertanian di Negara lain lebih banyak diusahakan oleh petani lewat koperasi, bahkan sampai produk hilirnya. ”Pesaing minyak sawit di Uni Eropa, sepertin rapeseed, bunga matahari semua diusahakan oleh petani sendiri,” katanya.
Munculnya, boikot minyak sawit termasuk referendum di Swiss adalah upaya untuk melindungi produk sendiri dari produk yang berasal dari impor. “Sementara di Indonesia politik perlindungan ini tidak jelas, contohnya sering terjadi impor beras masuk ketika sedang panen raya, impor gula putih ketika sedang musim giling,” tutur Darto menjelasakan.
Lebi lanjut kata dia, pemerintah tidak punya strategi melindungi petani sawit Indonesia. Setiap tahun isu lingkungan seperti deforestasi selalu ada , pertanyaannya apa yang sudah dilakukan pemerintah. Diplomasi ke luar negeri yang sudah memakan biaya besar hasilnya apa, karena isu ini malah semakin kencang.
“Tim diplomasi selama ini adalah pengusaha dan pemerintah, tidak pernah merupakan tim terbuka yang melibatkan asosiasi petani, asosiasi pengusaha dan pemerintah yang duduk bersama merumuskan strategi apa untuk melawannya. Asosiasi petani yang bermacam-macam harus duduk bersama juga dan pemerintah melibatkan dalam diplomasi,” tandas dia. (T2)
Sumber: Infosawit.com