Investor.id -Salah satu perusahaan pengolah minyak nabati global Apical mempunyai misi untuk bertransformasi menjadi penyedia bahan baku ramah lingkungan yaitu, biofuel generasi kedua. Hal ini melibatkan pengumpulan limbah dan residu dari pabrik dan penyulingan minyak sawit, serta minyak goreng bekas, untuk dijadikan alternatif sumber bahan baku konvensional.
General Manager of Green Energy, Biofuel Feedstock & Business Development Apical Aika Yuri Winata menerangkan, salah satu fokus mereka adalah Sustainable Aviation Fuel (SAF) bahan bakar ramah lingkungan untuk pesawat terbang. SAF diyakini dapat merevolusi industri penerbangan karena dapat mengurangi emisi CO2 dan menawarkan siklus keberlanjutan di masa depan.
Apical telah bermitra dengan Cepsa, perusahaan minyak terbesar kedua di Spanyol, untuk membangun pabrik biofuel generasi kedua terbesar di Eropa Selatan, dengan kapasitas produksi sebesar 500.000 ton per tahun. Setelah pabrik tersebut diharapkan selesai dibangun pada 2026, Apical akan memasok limbah dan residu pertanian sebagai bahan baku untuk produksi SAF.
“Apical memanfaatkan potensi transformatif SAF, dan meyakini kemampuannya dalam mengurangi emisi karbon dari industri penerbangan di dunia hingga lebih dari 90%, dibandingkan jika terus menggunakan bahan bakar jet tradisional. SAF dapat mengurangi 1,5 juta ton emisi CO2 per tahun,” ucap dia dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Minggu (3/12/2023).
SAF menjadi topik hangat di konferensi para pihak dalam kerangka kerja sama PBB untuk perubahan iklim (COP28 UAE), yang diadakan di Expo City, Dubai, dari 30 November 2023 sampai 12 Desember 2023. BIS Research, perusahaan riset berskala global yang kerap melakukan analisa terkait teknologi disruptif, memperkirakan pangsa pasar bahan bakar SAF dapat melonjak menjadi US$131,12 miliar pada 2033 dari US$1,29 miliar pada 2023.
Aika berbicara pada sebuah sesi diskusi yang diadakan oleh Paviliun Indonesia Jumat (1/12/2023), di hari kedua perhelatan COP28 UAE di Dubai. Pada diskusi itu, dia menerangkan, untuk mengakselerasi adopsi SAF dan membantu industri untuk melakukan ‘dekarbonisasi’ dari aktivitas penerbangan, dapat memanfaatkan kekuatan negara-negara di kawasan Asean, untuk dapat menjadi basis produksi industri bahan bakar ramah lingkungan ini secara global.
Aika mencatat ada enam negara di Asean yang secara akumulatif berpotensi menawarkan potensi bahan baku sebesar 10,4 juta Metric Ton dari limbah dan residu minyak nabati yang berasal dari limbah minyak goreng (UCO), limbah cair kelapa sawit (POME), limbah biologis dari proses pengolahan minyak sawit (EFB), produk samping yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak kelapa sawit mentah (PFAD) dan limbah dari pengolahan CPO (CPO with MC).
Negara-negara di Asia, terang dia, memiliki peluang untuk menciptakan kerangka kerja yang koheren dan harmonis yang dapat memberikan kepastian kepada investor mengenai potensi investasi di sektor ini. Operator di negara ini juga harus memiliki pemahaman yang komprehensif terkait peraturan yang berlaku untuk mendukung industri bahan bakar ramah lingkungan ini.
Aika mengatakan, produsen perlu dukungan lebih besar untuk dapat menjual bahan bakar ramah lingkungan ini agar harganya tidak terlalu jauh dari harga bahan bakar jet konvensional. Dia juga menggarisbawahi pentingnya sumber bahan baku berkelanjutan untuk produksi SAF. Bahan baku berbasis limbah dan residu harus dapat ditelusuri asal usulnya, ditangani dan diperoleh secara bertanggung jawab, dan tidak menimbulkan risiko di masa depan bagi pengguna akhir.
“Untuk mencapai tujuan ini diperlukan penciptaan landasan yang kuat seperti penetapan standar dan sistem sertifikasi yang berkelanjutan, mekanisme transparansi dan ketertelusuran, serta metode kualitas dan penanganan,” kata Aika.
Dia menerangkan, untuk mewujudkan potensi penuh SAF dalam dekarbonisasi industri penerbangan, pemasok juga perlu mempercepat dan meningkatkan pengembangan seluruh ekosistem. “Ini dimulai dengan mengatasi ketersediaan bahan baku, meningkatkan produksi dan akhirnya mengembangkan aliansi yang akan membantu negara-negara tersebut untuk mempercepat beberapa perkembangan ini sejak dini,” ucap Alika.
Tantangan Dekarbonisasi Industri Penerbangan
Dia menerangkan, industri penerbangan menghadapi tantangan besar untuk dapat melakukan dekarbonisasi, karena saat ini mereka berkontribusi terhadap 3% emisi CO2 global. Untuk mengatasi masalah ini, Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA) menargetkan keseluruhan industri penerbangan dapat mencapai net zero emission pada 2050. Kesepakatan ini dicapai pada pertemuan tahunan IATA ke 77 di Boston, Amerika Serikat pada 4 Oktober 2021.
Menurut hasil riset berbagai industri, SAF dipandang sebagai alternatif bahan bakar untuk pesawat terbang, yang dapat mengurangi emisi CO2 hingga 90%, sebuah harapan besar untuk industri ini mengingat tantangan besar yang dihadapi jika industri ini terus menggunakan bahan bakar berbasis fossil.
Meski menjanjikan banyak potensi, terang Aika, penerapan SAF masih sangat terbatas, karena bahan bakar ramah lingkungan ini hanya berkontribusi terhadap 0,1% di campuran bahan bakar pesawat terbang. Para pelaku industri masih mengeluhkan berbagai tantangan, diantaranya keterbatasan produsen untuk mengamankan bahan baku. Hal ini menjadikan harga bahan bakar ramah lingkungan ini masih tinggi.
Mata rantai produksi SAF juga menghadapi dilema kondisi antara ‘telur dan ayam’, di tengah-tengah ketidakpastian bahan baku dan permintaan pasar. Produsen bahan bakar ramah lingkungan ini perlu memastikan perhitungan skala ekonominya masuk untuk dapat menurunkan harga produksi SAF.
“Tantangan lainnya adalah belum ada sinyal kuat dari produsen bahan bakar untuk menambah komposisi bahan bakar ramah lingkungan ini. Hal ini disebabkan karena masih tingginya harga SAF,” ucap dia. (le)
sumber: https://investor.id/business/347722/apical-siap-jadi-penyedia-bahan-baku-ramah-lingkungan