Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menegaskan bahwa pendanaan subsidi biodiesel tidak mengambil Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dananya berasal dari pungutan Crude palm oil(CPO) alias CPO Fund.

DANA CPO Fund sendiri diperoleh dari ekspor produk sawit dan produk turunannya. Dana pungutan inilah yang dihimpun dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelap sawit (BPDP KS) sesuai Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

“Dukungan untuk program biodiesel tidak mengambil dana (subsidi) pemerintah. Tetapi dari pungutan ekspor sawit dan turunannya dari perusahaan sawit setiap bulan,” ujar Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan di Jakarta, kemarin.

Hal ini untuk menepis informasi yang berkembang bahwa program biodiesel mengandalkan anggaran pemerintah. Padahal, kata Paulus, program biodiesel mendapatkan sokongan 100 persen dari pihak swasta yang mengekspor produk sawit dan turunannya.

Menurut dia, pihak swasta mempunyai niat baik untuk menggenjot program mandatori biodiesel yang berhenti pada 2014. Kala itu, program biodiesel berhenti lantaran terjadi defisit perdagangan luar negeri sebagai dampak impor minyak bumi melonjak hingga 5,6 miliar dolar AS. Sedangkan, perdagangan ekspor hanya 4 miliar dolar AS sehingga terjadi minus perdagangan sekitar 1,6 miliar dolar AS.

Di saat yang sama, kondisi industri sawit mengalami masalah dari aspek harga dan permintaan. Harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani anjlok antara Rp 500-600 per kilogram, karena lesunya permintaan minyak sawit di pasar global.

Paulus menyebutkan, atas inisiatif dari perusahaan sawit bersama pemerintah merancang program pengumpulan dana untuk meningkatkan kembali penerimaan pemerintah, petani sawit dan swasta. Dana tersebut juga untuk menjalankan kembali program Bahan Bakar Nabati (BBN) – biodiesel serta program lainnya seperti replanting, riset, dan promosi.

Program inilah yang didanai oleh pungutan ekspor produk sawit dan turunannya yang bervariasi antara 10-50 dolar AS per ton. Dana ini dikelola dan disalurkan BPDP Kelapa sawit salah satunya untuk pembayaran selisih harga antara harga solar dan harga biodiesel ke perusahaan Biodiesel. “Sebab, pemerintah tidak mau menanggungnya,” tambah Paulus.

Paulus mengatakan, perbandingan antara iuran dari perusahaan pengekspor produk sawit dengan pembayaran atas selisih harga solar dan harga biodiesel ke produsen biodiesel adalah tidak relevan. “Karena itu tidak tepat. Berusaha memojokkan perusahaan biodiesel Indonesia dan berpotensi menggagalkan program BBN Indonesia,” ujar Paulus.

Sebagai contoh, salah satu perusahaan membayar iuran yang besar karena mengekspor sawit, akan tetapi perusahaan tersebut tidak memiliki pabrik biodiesel. Maka perusahaan tersebut tidak mendapatkan pembayaran selisih harga dari BPDP Kelapa Sawit.

Ketua Umum Aprobi MP Tumanggor mengatakan, harus dibedakan antara eksportir merangkap produsen, eksportir, dan produsen. Sebab, eksportir memiliki kewajiban membayarkan iuran ke BPDP Kelapa sawit lalu pungutan tadi dipakai untuk menanggung selisih antara harga solar dan harga biodiesel ke produsen.

Sebelumnya Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) Dono Boestami membantah, bahwa dana yang diterima berbagai perusahaan dari BPDPKS adalah subsidi pemerintah kepada perusahaan. Sebab menurutnya, penerima keuntungan dari kebijakan itu adalah masyarakat.

 

Sumber: Rakyat Merdeka