MEDAN – Pemerintah diharapkan mempercepat pengembangan industri hilir sawit, khususnya produk bahan bakar cair berbasis minyak kelapa sawit yang diperkirakan membutuhkan investasi Rp8 15 triliun- Rp840 triliun hingga 2025.
Sahat M. Sinaga, Direktur Eksekutif Cabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), menuturkan sawit dapat dikembangkan menjadi empat varian produk yakni bahan makanan, bahan bakar, produk kimia, dan bahan bakar.
Untuk bahan bakar, penghiliran minyak sawit di dalam negeri sudah dapat menghasilkan green diesel (Cetane Number 80), green gasoline (Ron 96-98), dan green avtur (dengan titik beku37 derajat celcius dan -60 derajat celcius.
“Dengan harga minyak US$70 maka kami [industri hilir) sudah bisa memproduksi [memiliki nilai keekonomian],” kata Sahat, Senin (8/10).
Green diesel dikenal juga dengan solar. Bahan bakar ini banyak digunakan oleh mesin industri, alat transportasi umum, dan pertambangan. Gasolin lebih dikenal dengan nama bensin dan banyak digunakan oleh kendaraan pribadi.
Sementara itu, avtur merupakan bahan bakar untuk pesawat. Produk ini membutuhkan titik beku jauh di bawah nol agar pesawat tidak mati ketika terbang di ketinggian.
Sahat menuturkan, dengan teknologi yang ada saat ini, dari 1 ton crude palm ad (CPO) dapat dihasilkan 524 – 5,96 barel setara bahan bakar cair. Skala uji coba produksi akan dimulai pada akhir kuartal IV/2018 untuk gasolin, sedangkan avtur akan mulai diproduksi pada awal 2019.
Indonesia diperkirakan membutuhkan 104,2 juta kiloliter bahan bakar cair pada 2025. Pada tahun ini, penggunaan bahan bakar secara nasional berkisar 75,7 juta kiloliter.
“Kami estimasi dengan 27% menggunakan campuran bahan bakar cair berbasis sawit, akan ada tambahan permintaan 26,9 juta CPO untuk bahan baku,” katanya.
Dengan kondisi ini, peningkatan produksi CPO pada 2025 diperkirakan mencapai 72 juta ton dapat terserap karena 60% dari produksi minyak sawit saat itu akan dikonsumsi di dalam negeri.
Minyaksawituntuk bahan bakar ini juga akan mengakhiri ketidakpastian penyerapan produksi minyak sawit dan turunannya di pasar utama seperti India dan Uni Eropa. “Kita akan menjadi pemboros terbesar, kalau tidak dipakai [kombinasikan bahan bakar cair berbasis minyaksawitini],” kata Sahat.
Dengan tingkat pemakain diesel, bensin, dan avtur sebesar 41%, 49%, dan 10% dari total bahan bakar nasional, GIMNI meyakini pemerintah dapat menghemat US$45,7 miliar dari pengalihan impor bahan baku fosil ke bahan bakar berbasis sawit.
Nilai penghematan ini diperkirakan mencapai US$157,2 miliar pada 2030. “Pertanyaannya apakah kebijakan pemerintah menjadikan sawit ini mati atau akan tetap dihidupkan,” katanya.
Sahat menilai, saat ini kampanye negatif terhadap sawit sangat gencar. Pada saat yang sama, beberapa kebijakan ekonomi yang menekan industri juga diambil oleh sejumlah negara.
Dia mencontohkan, India sebagai konsumen terbesar menerapkan bea masuk 54% untuk produk hilir dan 34% pada CPO. Sejumlah tekanan lain juga dihadapi oleh produk sawit termasuk ancaman penghentian penggunaan biosolar di negara-negara Eropa berbahan sawit.
Frisda R. Panjaitan, Peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa sawit (PPKS) Medan, menuturkan pada dasarnya, apapun yang dapat diproduksi dari olahan minyak bumi dapat dihasilkan juga oleh minyak sawit.
Saat ini, dia tengah mengembangkan bioplastik berbasis minyak dan biomassa sawit Dia menuturkan, produk plastik dari sawi tini lebih aman untuk lingkungan. PPKS Medan menyebutkan kebutuhan bioplastik dunia akan meningkat dari 1,7 juta ton pada 2014 menjadi 7,8 juta ton pada 2019.
Adapun, potensi konsumsi plastik di Indonesia mencapai 4 juta ton per tahun dengan 50% bahan baku didatangkan melalui impor.
DIKELOLA NEGARA
Sahat mengatakan, untuk mewujudkan bahan bakar berbasis minyak sawit ini, negara harus tampil sebagai pengelola. Perkebunan rakyat dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dijadikan basis produksi bahan baku.
Gabungan produksi kebun rakyat dan PTPN akan mencukupi kebutuhan bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi-bahan bakar cair berbasis sawit Sementara itu, pihak swasta bergerak di produk hilir seperti bahan kimia ataupun produk bahan pangan.
“Dengan pola ini, harga bahan bakar tidak dapat dipermainkan, karena kalau diserahkan pada swasta sepenuhnya, harga akan rentan dan berfluktuasi,” katanya.
Edy Sutopo, Direktur Industri Hasil Hutan Perkebunan Kementerian Perindustrian, menuturkan tengah mendorong industry hilir sawit agar berkembang lebih luas. Menjadikan minyak sawit menjadi bahan bakar adalah salah satu upaya yang harus dipercepat.
“Ada 32 juta jiwa yang bergantung hidupnya terhadap sawit.sawit juga menjadi penyumbang ekspor terbesar,” katanya.
Dengan besarnya jumlah penduduk yang bergantung dan pentingnya produk sawit terhadap ekonomi nasional, pihaknya akan mengundang lebih banyak investasi untuk dengan menawarkan dukungan insentif fiskal bagi industri ini.
Sumber: Bisnis Indonesia