
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS) tengah bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) guna membuat basis data pekebun.
Direktur Utama BPDPKS Dono Boestami mengatakan, itu adalah rencana jangka menengah yang ditempuh lembaganya untuk ikut memperbaiki industri kelapa sawit.
Dengan demikian, sambungnya, pemerintah jadi tahu persis jumlah keluarga petani sawit, jumlah kebun bersertifikat, dan lain sebagainya.
“Program peremajaan bukan sekadar untuk meremajakan kebun [kelapa sawit], tetapi juga untuk mendata petani,” katanya di acara Sosialisasi Kelapa sawit Purnakarya PT. Bukit Asam pada Sabtu (20/4).
Sementara itu, untuk jangka panjangnya, BPDPKS dan pemerintah akan mendorong percepatan penggunaan balian bakar ramah lingkungan {green fuel).
Dono menjabarkan, ke depannya industri otomotif akan menggunakan green fuel sebagai bahan bakar. Baik itu green diesel, green avtur maupun green gasoline.
Tipe bahan bakar green fuel, lanjutnya, memiliki perbedaan dengan biodiesel yang saat ini digunakan.
Green fuel tidak perlu lagi menggunakan campuran minyak fosil. Dengan demikian, beban negara untuk mengimpor bahan bakar minyak berbasis fosil pun berkurang.
“Kebutuhan domestik solar per tahun saja antara 25 juta kilo liter-30 juta kilo liter. Kalau menggantinya dengan green fuel artinya membutuhkan 25 juta ton minyak kelapa sawit,” katanya.
Jumlah kebutuhan tersebut selaras dengan proyeksi produksi minyak sawit nasional pada 2025.
Ketika itu, Dono mengatakan produksi minyak sawit nasional mencapai 55 juta ton. Dengan serapan untuk bahan bakar 25 juta ton, artinya masih ada sisa 30 juta ton yang bisa digunakan untuk kebutuhan pangan dan pasar ekspor.
Petani pun, lanjutnya, tidak akan mengalami penurunan harga buah karena kelebihan produksi.
Pasalnya, mereka terbantu dengan pasar energi yang tengah dikembangkan secara masif. Terlebih, pasar energi membolehkan buah kelapa sawit yang masak untuk diproses secara berbeda dengan pasar pangan.
“(Mesin) katalisator sudah diproduksi Indonesia dan berhasil. Biayanya pun 60% lebih murah dibandingkan dengan milik asing,” katanya.
Menurutnya, dengan target tersebut Indonesia jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain yang masih menggunakan B5.
Dia pun berharap agar hasil produksi bisa dinikmati konsumen akhir. Akan tetapi, masih ada standar mutu dan percobaan lain yang masih membutuhkan waktu.
Pada perkembangan lain, Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) menilai pemakaian minyak sawit merah alami bisa untuk mengatasi kekurangan gizi masyarakat Indonesia.
Ketua Maksi Darmono Taniwiryono mengatakan, ekstrak minyak sawit merah sangat tinggi kandungan vitamin A, omega 9, omega 6 dan little omega 3, serta mengandung betakaroten dan vitamin E.
Minyak sawit merah, lanjutnya, dapat dikonsumsi langsung atau ditambahkan pada makanan yang masih hangat sebelum disajikan dan disantap. Menurutnya, tradisi memakan olahan minyak sawit merah telah dimulai semenjak 5.000 tahun lalu dengan teknik ekstraksi sederhana di Afrika. Namun, minyak sawit merah alami yang kaya nutrisi belum termanfaatkan secara maksimal di Indonesia.
“Di Indonesia, minyak sawit merah alami bisa dipakai sebagai campuran minyak makan,” kaianya pada Sabtu, (20/4), di acara Sosialisasi Manfaat Kelapa sawit Purnakarya PT. Bukit Asam Tbk.
Padahal, sebutnya, kandungan vitamin dan gizi sang ada pada minyak sawit merah dapat menjadi solusi permasalah stunting yang ada di Indonesia. Seperti diketahui, tingginya angka stunting menjadi persolan bersama bagi stakeholders untuk segara menekan sehingga dampaknya dapat diminimalkan.
Sumber: Bisnis Indonesia