Belum lama ini lembaga nirlaba Greenpeace Internasional melakukan analisis, dari kegiatan tersebut terungkap beberapa perusahaan merek ternama dunia telah memicu perubahan iklim karena masih membeli komoditas minyak sawit dari pemasok yang terkait dengan kebakaran hutan.

Dikatakan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Annisa Rahmawati, pada sesi pembahasan soal hutan di KTT Perubahan Iklim di Madrid. Orang-orang di seluruh dunia khawatir ketika mengetahui pembuat Kit-Kats, Oreo, sampo Head & Shoulder, sabun Dove dan tisu Paseo tersangkut persoalan kerusakan iklim bumi.

“Perusahaan yang mengklaim sebagai ‘juara iklim’ seperti Unilever ternyata terkait dengan emisi gas rumah kaca dari kebakaran lahan gambut,” katanya dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT, belum lama ini.

Lebih lanjut kata dia, perusahaan merek-merek ternama ini perlu memutuskan hubungan dengan semua pedagang dan kelompok pemasok yang kebakarannya terus  terjadi.

Dari analisa Greenpeace, antara 2015-2018, menunjukkan pemasok Unilever bertanggung jawab atas akumulasi emisi gas rumah kaca sebagai akibat dari kebakaran lahan gambut di konsesi mereka, yang setara dengan 25 persen dari emisi yang dihasilkan oleh Belanda dalam setahun.

Selama periode yang sama, pemasok Nestle bertanggung jawab atas lebih banyak emisi daripada Swiss dalam setahun. Dengan cara yang sama, pemain utama lainnya, Mondelez emisinya lebih besar dari emisi tahunan Selandia Baru, sementara potensi tanggung jawab karbon P&G adalah dua kali lipat dari emisi tahunan Norwegia.

Emisi sejumlah pedagang minyak sawit dari emisi tahunan Denmark; dan Musim Mas, 75 persen dari emisi tahunan Singapura. Emisi gabungan Sinar Mas Group dan perusahaan mereka lainnya seperti Golden Agri Resources (GAR) dan Asia Pulp and Paper (APP) setara dengan hampir 3,5 kali lipat emisi tahunan Singapura.

“Pemerintah Indonesia perlu lebih transparan dan membuat data konsesi terbuka untuk umum sehingga deforestasi dan kebakaran yang sedang berlangsung dapat dengan jelas diketahui dengan perusahaan mana yang bertanggung jawab atas lahan tersebut,” kata dia.

Selain itu, pemerintah Indonesia harus menegakkan undang-undang tentang perlindungan gambut, tanggung jawab atas kebakaran, serta moratorium konsesi baru dan kebijakan lain yang berupaya melindungi hutan. “Ini belum berjalan efektif, sehingga menyebabkan munculnya sejumlah peraturan yang memungkinkan berlanjutnya kerusakan lahan gambut dan hutan,” turut Annisa.

Pada 5 Desember 2019 lalu adalah hari pembahasan soal di KTT Perubahan Iklim COP 25 Madrid dimana akan ada fokus pembahasan peran hutan dalam memerangi perubahan iklim dan pada penghancuran hutan yang memicu perubahan iklim. 

 

Sumber: Infosawit.com