Rencana penerapan B100 atau 100% biodiesel untuk pengganti BBM solar tidak bisa hanya mengandalkan minyak sawit mentah (CPO). Peningkatan penggunaan biofuelyang ramah lingkungan untuk transportasi dan industri itu juga harus dilakukan dengan mengembangkan sumber bahan baku yang lain, seperti kelapa dan jarak.

Kalangan pelaku usaha juga menilai rencana program B100 masih perlu dikaji lebih lanjut. “Ini lantaran sektor otomotif mulai memasuki era kendaraan berbasis baterai. Artinya, kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) untuk kendaraan konvensional nantinya kian berkurang. Untuk itu, APROBI saat ini lebih fokus pada program biodiesel 40% (B40), yang rencananya diterapkan pada akhir 2020,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Aprobi) Master Parulian Tumanggor kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (12/2).

Indonesia yang harus menggenjot ekspor untuk mengatasi defisit neraca perdagangan juga masih mengandalkan minyak sawit, yang merupakan penyumbang ekspor terbesar dari 10 golongan barang nonmigas utama tahun lalu yang datanya dirilis Badan Pusat Statistik. Ekspor minyak dan lemak hewan/nabati yang sebagian besar produk sawit ini menembus sekitar US$ 17,61 miliar tahun lalu, atau menyumbang 11,37% terhadap total ekspor nonmigas RI sebesar US$ 100 miliar. Ke depan, minyak nabati yang paling kompetitif di dunia tersebut juga masih berpotensi nilai ekspornya meningkat. e – mentara itu, total ekspor nonmigas dan migas Indonesia pada 2019 senilai US$ 167,52 miliar, turun dari tahun sebelumnya US$ 180,01 miliar. Sedangkan impor lebih tinggi menembus US$ 170,72 miliar, sehingga neraca perdagangan masih defisit US$ 3,20 miliar. Impor ini juga turun dibanding tahun 2018 sebesar US$ 188,71 miliar.

Jangan Ganggu Industri

Hasril Hasan yang merupakan ketua bidang riset dan peningkatan produktivitas Gapki menuturkan sebelumnya, tahun 2019 produksi minyak sawit Indonesia diperkirakan menembus 51,50 juta ton. Dengan proyeksi kenaikan 2%, produksi minyak sawit Indonesia tahun 2020 diperkirakan sekitar 52,53 juta ton.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang digunakan untuk kebutuhan bahan baku industri minyak goreng di Tanah Air sekitar 14 juta ton tahun 2019. Minyak goreng itu sebanyak sekitar 5,1 juta ton dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, sedangkan sisanya untuk kebutuhan nasar luar neceri.

Sedangkan konsumsi biodiesel domestik tahun 2020 diperkirakan mencapai sekitar 9,40 juta kl, sejalan dengan peningkatan program man-datori pemakaian biodiesel dari B20 (campuran biodiesel 20% untuk solar) tahun 2019 ke B30 tahun ini. Ketua Harian Asosiasi Produsen biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyatakan sebelumnya, konsumsi biodiesel di pasar domestik tahun 2019, dengan penerapan B20, diesti-masi mencapai 6,20 juta kl. “Dengan kapasitas terpasang sekitar 12 juta kl dan utilisasi 80-90%, ruang untuk ekspor biodiesel juga diperkirakan semakin tipis,” tutur dia.

Sedangkan Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto mengatakan, pemerintah berupaya menekan impor minyak dan hasil minyak yang selama ini menjadi penyebab utama defisit neraca perdagangan, di antaranya dengan mengembangkan biodiesel untuk memangkas impor BBM solar. Pengembangan biodiesel di dalam negeri juga dilakukan karena adanya hambatan produk sawit Indonesia di pasar Uni Eropa (UE) dan hambatan perdagangan dari India.

Namun demikian, apabila produksi biodiesel berbahan sawit terus digenjot secara berlebihan untuk kebutuhan B100, maka tidak tersedia cukup sawit untuk memproduksi turunan lain yang bernilai tambah lebih tinggi. Hal ini akan mengganggu program hilirisasi industri bernilai tambah tinggi.

“Jika \’semua\’ untuk biodiesel, maka kesempatan Indonesia untuk memproduksi turunan lain dari sawit akan berkurang di masa mendatang. Padahal, turunan minyak sawit banyak, ratusan, tidak hanya biodiesel, di mana Malaysia saja bisa mengembangkan turunan sawit hingga tahap lanjut itu. Jangan sampai nanti mengganggu hilirisasi industri sawit,” ungkap Eko Listiyanto.

Tidak hanya itu, lanjut Eko Listiyanto, sawit tidak hanya sebagai sumber energi, namun juga sumber pangan. Penggunaan minyak sawit untuk biodiesel secara masif bisa jadi akan menimbulkan trade off.

Indonesia juga bisa jadi akan menghadapi loss opportunity dari devisa ekspor sawit yang selama ini cukup besar. “Artinya, memang bagus pengembangan B100 ini, tapi juga banyak aspek yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan. Apakah asosiasi kendaraan siap menggunakan B100? Tingkat kepercayaan mereka akan program biodiesel harus ditingkatkan, jangan sampai mereka ragu. Lalu, aspek pemerataan, jangan sampai teknologi biodiesel hanya dikuasai oleh perusahaan besar, teknologi ini hendaknya juga bisa menyentuh hingga petani swadaya,” ujar Eko.

Eko Listiyanto menambahkan, program B100 juga baik bila tidak sepenuhnya menggunakan minyak sawit, tapi juga menggunakan minyak nabati lain seperti minyak jarak atau kelapa. Seperti halnya program B20 dan B30 dari biodiesel sawit yang dimulai dari keterpaksaan, lanjut dia, maka penggunaan minyak nabati lain dalam B100 juga baru bisa diterapkan apabila ada keterpaksaan, misalnya mulai ada kelangkaan sawit sebagai bahan baku untuk peningkatan mandatori bila sudah lebih tinggi dari B50.

“Bahan baku yang digunakan dalam B100 ini akan melihat dari aspek kesiapan suplai dan teknologi, juga harga. Kalau sekarang memang yang paling siap itu sawit, apalagi program replanting dilakukan besar-besaran, sedangkan kalau minyak jarak atau bahan baku lain seperti kelapa mungkin belum sesiap sawit,” kata Eko.

Saat ini, harga minyak sawit yang masih rendah juga sejalan dengan program mandatori penggunaan biodiesel, namun bisa menghadapi permasalahan jika harga sawit sudah tinggi. Saat ini harga CPO masih termasuk rendah, sekitar US$ 666,99 per ton.

Rata-rata harga CPO dunia pernah di posisi tertinggi dalam sejarah pada Februari 2011, yakni sekitar US$ 1.292 per ton. Tren booming harga CPO tersebut dimulai sejak November 2010, namun era rata-rata harga CPO di atas US$ 1.000 per ton berakhir pada Agustus 2012, kemudian terus merosot. Rata-rata harga CPO sempat mencapai titik terendah pada Desember 2018, yakni di level US$ 535 per ton.

“Jadi, \’ceritanya\’ bisa lain kalau nanti harga sawit sudah tinggi. Sedangkan untuk pengembangan jarak misalnya, intinya jangan seperti dulu juga, ada jarakisasi atau penanaman jarak di mana-mana tapi tidak ada yang menyerap,” tandasnya.

Butuh 35 Juta Ton

Parulian Tumanggor mengatakan lebih lanjut, APROBI mendukung pro- gram pemerintah menerapkan green fuel sebagai pengganti atau pengurang konsumsi solar. Untuk itu, pasokan fatty acid methyl esters (FAME) untuk biodiesel perlu ditingkatkan guna mencukupi kebutuhan program pemerintah.

“Aprobi sekarang lebih fokus (penyiapan) program biodiesel 40% (B40), sedangkan penerapan B100 membutuhkan sekitar 35 juta ton sawit. Hal ini baru bisa dilakukan jika produksi sawit bisa ditingkatkan hingga 60 juta ton, yang nanti sisa produksinya masih bisa memenuhi kebutuhan minyak goreng dan lain-lain,” paparnya.

Ia menjelaskan, hal itu dengan memperhitungkan kebutuhan BBM solar saat ini sekitar 32 juta kiloliter (kl). Sementara itu, dengan green fuel 100% atau B100, kebutuhan solar tidak ada lagi.

Oleh karena itu, Parulian mengatakan, program B100 harus diawali dengan studi kelayakan yang baik. Pasalnya, hal ini juga menyangkut nilai investasi maupun harga jual.

Dia mengatakan harga]ua\greenfuel bisa mencapai Rp 14.000 per liter, atau hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan solar bersubsidi sebesar Rp 5.150/liter. Bila kemudian hargajual green fuel disubsidi pemerintah, anggaran yang disediakan sangat besar.

“Semua aspek harus dikaji, kalau harga green fuel tinggi apakah masyarakat mau membeli. Kemudian bila industri kendaraan baterai berkembang, maka kan tidak perlu lagi ada penambahan produksi minyak sawit sampai 60 juta ton. Jadi, perkembangan industri otomotif juga patut dicermati, lantaran era kendaraan berbasis baterai sudah mulai bergulir,” tandasnya.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (HIP BBN) jenis biodiesel bulan Februari 2020 Rp 9.539 per liter ditambah ongkos kirim. Hal ini sudah menghitung ongkos produksi dari CPO menjadi biodiesel sekitar US$ 100 per ton.

Besaran HIP BBN tersebut digunakan dalam rangka pelaksanaan mandatori B30 dan berlaku untuk pencampuran minyak solar, baik jenis bahan bakar minyak tertentu maupun jenis bahan bakar minyak umum. Harga itu lebih mahal dibanding harga solar nonsubsidi yang dijual Pertamina di Jawa sebesar Rp 9.300 per liter.

Sementara itu, harga minyak mentah {crude oil) jenis Brent berdasarkan data Bloomberg sebesar US$ 54,76 per barel dan jenis WTI US$ 50,43 per barel pada 12 Februari 2020. Harga biodiesel dinilai bisa bersaing dengan solar bila harga minyak Brent sekitar US$ 70 per barel.

Uji Coba Maret

Parulian mengatakan lebih lanjut, seiring APROBI yang kini lebih fokus pada mandatori biodiesel 40%, maka uji coba penggunaan B40 akan dimulai bulan depan. Bahan bakunya juga cukup.

“Kapasitas FAME atau minyak nabati dari Kelapa Sawit itu mencukupi. Kapasitas produksinya bisa mencapai 14 juta kl, sedangkan kebutuhan FAME sekitar 12 juta kl dalam program B40 tersebut. Kami akan uji B40 mulai Maret 2020 dan diperkirakan selesai Juli nanti,” ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral Kemente- rian ESDM Dadan Kusdiana membenarkan adanya uji B40. Ia menuturkan, dalam pengujian itu ada sejumlah bahan bakar B40 dengan berbagai spesifikasi.

“Nantinya diambil dua spesifikasi yang akan dibahas bersama dengan tim lebih besar, seperti produsen biofuel dan produsen kendaraan. Kemudian, dari hasil pembahasan itu akan dilakukan uji coba dengan mesin yang lebih lama beroperasi sekitar 1.000 jam. Setelah 1.000 jam akan dianalisis lagi,” tuturnya.

Setelah uji 1.000 jam itu, akan dilakukan tahap selanjutnya yakni uji jalan lapangan sekaligus ajang sosialisasi. Tahapan-tahapan semacam ini sudah dilakukan pada mandatori biodiesel sebelumnya, yakni B20 dan B30. Penerapan B40 ini nantinya lebih dulu diutamakan pada sektor otomotif.

Pada kesempatan terpisah, Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya mengatakan, pencapaian target bauran energi terbarukan 23% pada 2025 juga diupayakan dari pemanfaatan bahan bakar nabati yang mengurangi porsi bahan bakar minyak. Arifin menambahkan, Indonesia telah mendistribusikan biodiesel 20% atau B20 dan memulai distribusi biodiesel 30% atau B30 tahun ini.

“Konsumsi solar bisa dikurangi dengan substitusi program biodiesel dari CPO atau minyak sawit. Ke depannya, (B30) akan menuju ke B40 dan B100,” kata dia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, tahun ini serapan biodiesel ditargetkan sebesar 10 juta kl. Tahun depan, serapan biodiesel masih akan relatif stabil yakni sebesar 10,2 juta kl. Selanjutnya, serapan biodiesel mulai naik signifikan menjadi 14,2 juta kl pada 2022, 14,6 juta kl tahun 2023, dan mencapai 17,4 juta kl tahun 2024.

Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menuturkan, serapan biodiesel di 2022 sudah memperhitungkan dimulainya penyaluran B40. “Namun, saat ini, penerapan B40 ini masih dalam tahap uji coba. Kalau uji cobanya memang oke dan dari kapasitas produksi mencukupi, bisa (disalurkan) B40, pokoknya tergantung hasil uji cobanya dulu,” ujarnya.

Selain itu, pihaknya juga sudah memasukkan asumsi bahwa Proyek Green Refinery PT Pertamina (Persero) sudah mulai berproduksi. Namun, ia mengakui belum tentu kilang ini akan langsung menghasilkan B100. Pasalnya, harga B100 masih cukup tinggi dan spesifikasinya juga terlalu tinggi.

Pihaknya juga sudah menghitung potensi distribusi bioethanol. Meski demikian, pihaknya belum dapat memastikan seberapa besar bioethanol yang bisa disalurkan. Hal ini mengingat kapasitas produksi bioethanol masih terbatas dan harganya masih cukup tinggi. Sejauh ini, baru dua industri yang menghasilkan bioethanol.

“Mereka siap (menerapkan mandatori bioethanol). Hanya karena harganya masih di atas, enggak ada insentif, jadinya belum jalan,” ujar Feby.

Pemerintah kini masih membahas soal peluang insentif bioethanol ini, mengingat beban subsidi BBM dan energi yang lain saat ini masih cukup besar. Sekalipun nanti penyaluran atau distribusi bioethanol bisa dimulai, tambahnya, volumenya hanya kecil di bawah 100 ribu kl.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia