Belum adanya peta jalan atau road map yang jelas tentang program campuran 40% biodiesel dalam minyak solar (B40) membuat pelaku industri terkait menjadi bimbang, kendati pemerintah terus mendorong implementasinya.

Pelaku industri alat berat dan otomotif, misalnya, sampai kini masih menantikan kepastian pemerintah untuk program B40 tersebut, agar dapat menyesuaikannya.

“Penetapan peraturan atau roadmap B40-B50 itu terlebih dahulu harus ditetapkan agar ada kepastian bagi industri untuk mempersiapkannya, termasuk spesifikasinya kapan mulainya,” kata Sekretaris Gabungan Kepala Kompartemen Teknik lingkungan dan Gabungan Industri Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Abdul Rochim dalam webinar, belum lama ini.

Menurut dia, tahapan studi dan evaluasi B40 sebaiknya mengikuti program pengembangan biodiesel sebelumya dan dikonfirmasi melalui tes jalan [road test). Untuk implementasi, sebaiknya diberikan waktu yang cukup bagi industri.

“Industri melakukan penyesuaian karena ada komponen yang berdampak langsung dengan bahan bakar, at least berdasarkan roadmap sebelumnya minimal 3 tahun setelah ditetapkan regulasi itu baru kami bisa implementasi.” Senada, Komisi Teknis Himpunan Industri Alat Berat Indonesia Fahmi meminta pemerintah memberikan kejelasan campuran yang digunakan dalam B40. Dia mengusulkan campuran yang digunakan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi atau setara dengan B30.

Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menjelaskan berbagai kajian sudah dilakukan, termasuk soal campuran yang dibutuhkan untuk B40. Kementerian ESDM bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tengah menguji campuran FAME [fatty acid methyl ester) dan D100 untuk digunakan pada B40.

“Kajiannya masih sedikit delay, mudah-mudahan di akhir tahun ini atau di awal Januari, kita bisa dapat kajian teknis dan juga teknoekonomi untuk penerapan B40,” katanya.

Andriah menjelaskan kajian teknis tersebut akan digunakan sebagai salah satu masukan untuk perubahan regulasi penerapan program B40. “Memang target kami bagaimana membuat bahan bakar itu benar-benar comply dengan engine, dan dekat dengan karakteristik solar,” jelasnya.

Namun, dia tidak menampik bahwa sejumlah persiapan dan kajian tersebut harus terhambat karena pandemi Covid-19.

Pandemi juga menyebabkan harga minyak dunia melemah, sementara harga crude Palm Oil (CPO) tetap tinggi. Kondisi itu berdampak pada selisih harga biodiesel yang perlu ditanggung oleh insentif makin besar, sehingga implementasi B40 makin tidak memungkinkan.

Kondisi terberat yang dihadapi pada tahun ini, kata dia, program biodiesel sangat didukung oleh insentif yang bersumber dari pungutan ekspor dari produk CPO dan turunannya. Begitu juga dengan peluang pembangunan pabrik baru FAME menjadi dilematis karena belum ada kepastian bahan campuran untuk program biodiesel 40%.

“Ini menjadi dilema karena memang kalau kita misalnya MO, B50 kalau kita berbasis FAME, masih butuh tambahan kapasitas tapi kalau akan menggunakan green diesel kemungkinkan akan berlebih,” katanya.

Selain itu, seperti yang dikatakan Ketua Harian Asosiasi Produsen biofuel Indonesia Paulus Tjakrawan, mayoritas pabrik FAME berlokasi di Sumatra, sehingga ongkos angkut untuk pasokan di wilayah Indonesia timur membengkak.

Untuk diketahui, PT Pertamina (Persero) telah melaksanakan mandatori B30 dan akan meneruskan program biodiesel tersebut ke B40 yang kajiannya ditargetkan selesai pada kuartal 1/2021.

BEA KELUAR CPO

Di sisi lain, Gabungan Industri Mi- nyak Nabati Indonesia (GIMNI) berharap agar pemerintah tidak menaikkan bea keluar CPO karena dinilai tidak berdampak langsung pada industri Kelapa Sawit nasional.

Selain itu, kata Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga, bea keluar juga tidak memiliki implikasi langsung dalam mendukung program biodiesel nasional. “Bea keluar ini langsung ke negara. Balik dari negara ke aktivitas [industri kelapa sawit] ini belum terlihat, itu alasannya,” katanya kepada Bisnis, Minggu (20/12).

Menurut dia, kenaikan dana pungutan ekspor menjadi langkah yang tepat untuk menutupi selisih antara harga biodiesel dan solar. Selain itu, petani Kelapa Sawit juga diuntungkan secara langsung dengan bertambahnya dana penanaman kembali, pelatihan, dan program lain yang diadakan Badan Pengelola Dana Pungutan Kelapa Sawit.

 

Sumber: Bisnis Indonesia