JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Pengelola dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) melaporkan pada tahun 2019, nilai ekspor kelapa sawit RI mencapai 154,9 juta dollar AS. Angka tersebut setara dengan 22,4 persen dari keseluruhan nilai ekspor Indonesia. Namun demikian kelapa sawit RI masih menghadapi tantangan. Salah satunya, kampanye hitam atau black campaign yang dilakukan oleh media hingga otoritas di kawasan Uni Eropa. Hal tersebut turut berpengaruh dalam permintaan sawit yang menyebabkan harga komoditas tersebut cenderung tidak stabil. “Kampanye negatif menjadi salah satu penyebab rendahnya nilai jual produk sawit Indonesia,” ujar Ketua Dewan Pengawas Badan BPDPKS Rusman Heryawan ketika memberikan paparan dalam webinar, Senin (29/6/2020).
Dia mengatakan, kampanye negatif tersebut meliputi isu deforestasi, jejak karbon yang dianggap tinggi, kesejahteraan petani sawit yang dianggap rendah, hingga perusahaan-perusahaan sawit yang dianggap mempekerjakan pekerja anak. Padahal menurut dia, sawit berkontribusi cukup besar di dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Dari hulu ke hilir dia mengatakan, sebanyak 22 juta pekerja terlibat di dalam industri sawit. Rinciannya 7 juta orang bekerja di sektor hulu yang terdiri atas 2,4 juta adalah petani swadaya dan 4,6 juta pekerja yang menyebar di beberapa perusahaan plasma dan swadaya.
Sementara untuk pekerja yang di industri hilir atau sektor pendukung lainnya, jumlah pekerjanya mencapai 16 juta lebih. Rinciannya, 4,2 juta tenaga kerja yang bekerja langsung berkaitan dengan sawit, dan 12 juta tenaga kerja yang tidak langsung berkaitan dengan sawit.
Biodiesel
Untuk melawan kampanye negatif sekaligus melakukan stabilisasi harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO), pemerintah pun mulai menggerakkan program biodiesel. Program mandatori biodiesel sudah mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar campuran biodiesel sebesar 2,5 persen. Secara bertahap kadar biodiesel meningkat hingga 7,5 persen pada tahun 2010. Pada periode 2011 hingga 2015 persentase biodiesel ditingkatkan dari 10 persen menjadi 15 persen. Selanjutnya pada tanggal 1 Januari 2016, ditingkatkan kadar biodiesel hingga 20 persen (B20).
Kini, pemerintah tengah menggiatkan program mandatori B30 atau biodiesel hingga 30 persen. Biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. Pelaksana Tugas (Plt) Asisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura Kemenko Perekonomian Asisten Deputi Holtikulra Muhammad Saifullah menjelaskan, melalui program mandatori biodiesel ini, pemerintah bisa melakukan penghematan devisa hingga 6,81 miliar dollar AS serta berkontribusi terhadap pendapatan perpajakan hingga Rp 2,74 triliun.
Selain itu, biodiesel juga diklaim bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 23,3 juta ton Co2. “Ini untuk program yang implemented 2019 dan jalan 2020,” ujar dia. Saifullah pun mengatakan, kampanye negatif yang dilakukan oleh negara dan media asing tersebut tidak terjadi pada produk minyak nabati lain seperti rapseed hingga minyak kedelai. Sebab menurut dia, selama harga minyak sawit masih murah di pasaran dibanding dengan harga minyak nabati lain, maka kampanye negatif tersebut masih akan terus terjadi.
Lawan Uni Eropa
Saat ini, pemerintah RI masih dalam proses melawan Uni Eropa terkait diskriminasi sawit. Pemerintah RI tengah mengajukan gugatan atas diskriminasi oleh Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Gugatan tersebut diajukan lantaran Komisi Eropa mengesahkan Renewable Energy Directives II (RED2) yang menargetkan penggunaan energi terbarukan Uni Eropa pada 2030 mencapai 32 persen pada Agustus lalu. RED2 menetapkan tanaman yang digunakan untuk produksi biofuel tidak berasal dari area yang mengalami deforestasi atau ditanam di lahan gambut. Dalam turunan peraturan Delegated Act (DA) disebutkan biofuel berbasis sawit, masuk ke dalam kriteria high risk Indirect Land Use Change (ILUC) yang dianggap merusak lingkungan dan menyebabkan deforestasi. Kriteria DA akan ditinjau kembali pada tahun 2021 sebelum direvisi pada tahun 2023.
Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan mengatakan, kebijakan tersebut dinilai diskriminatif. Sebab, kebijakan Komisi Eropa itu hanya menyasar minyak kelapa sawit saja dan mengecualikan minyak nabati lain. “Padahal soya oil membutuhkan lahan yang delapan kali lebih besar,” ujar dia. Dia pun mengatakan saat ini pihak pemerintah dan tim yang masuk dalam proses gugatan termasuk para pengusaha sawit tengah membentuk tim panel untuk sidang di WTO.
Gugatan diajukan lantaran pihaknya menilai industri sawit di Indonesia telah memenuhi ketentuan yang berlaku secara internasional. Gugatan atas industri sawit terhadap Uni Eropa pun sebelumnya sudah pernah dilakukan pada tahun 2018 lalu, saat industri sawit RI dituduh melakukan dumping atau menjual harga lebih murah di luar negeri dibanding harga di dalam negeri. “Saat itu standar yg digunakan dari Jerman, mereka hitung ternyata biodiesel indo bisa mengurangi emisi lebih dari 50 persen. Sehingga ekspor luar biasa 1,8 juta ton di 2014,” jelas Paulus. “Kemudian mereka tuduh kita subsidi, dan menuduh lagi karena dumping. Kami ke WTO dan menang di 2018. Kemudian syaratnya naik (pengurangan emisi) engga hanya 35 persen tapi hampir 50 persen, kita bisa memenuhi lagi,” ujar dia.
Sumber: Kompas.com