JAKARTA-Duta Besar/Wakil Tetap Indonesia untuk PBB di Jenewa Hasan Kleib meminta agar Pemerintah Indonesia dan para pelaku usahakelapa sawitdapat menunjukkan bukti ilmiah untuk menangkal isu negatif kelapa sawit di Uni Eropa (UE). Kampanye negatif yang dilakukan UE terhadap minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menyasar berbagai isu mulai deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hingga kesehatan akibat mengkonsumsi produk mengandung sawit.

Namun demikian, Hasan Kleib menilai, isu dampak negatif sawit tidak didukung sepenuhnya melalui landasan bukti ilmiah (scientific evidence), melainkan hanya sebuah opini publik dari kampanye yang dilakukan UE. “Nampaknya, isupalm oilcenderung kepada masalah public opinion yang beredar dan bukan sepenuhnya berdasarkan scientific evidence. Karena itu, kita perlu menunjukkan scientific evidence bahwa minyak sawit tidak merusak kesehatan, libatkan semua unsur mulai akademisi, petani, pemerintah, dan pelaku usaha. Sudah waktunya Indonesia melawan UE karena negara itu tidak akan pernah berhenti melawan sawit Indonesia,” kata Dubes Hasan dalam webinar INApalm oildi Jakarta, kemarin.

Dubes Hasan menilai, perwakilan Indonesia di PBB tidak hanya menghadapi isu sawit di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) saja, tetapi juga terhadap organisasi lain seperti WHO terkait isu kesehatan terhadap produk makanan yang mengandung sawit. Kemudian terhadap ILO (Organisasi Buruh Dunia) terkait kesejahteraan petani sawit di Indonesia yang mencapai 2,70 juta kepala keluarga, serta terhadap UNFCCC terkait isu deforestasi dan dampak lingkungan lainnya, seperti polusi dan kebakaran hutan.

Karena itu, selain melakukan pelabelan terkait minyak sawit sebagai energi ramah lingkungan, Pemerintah RI bersama pelaku usaha dalam hal ini Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) juga harus mampu berbenah diri untuk meningkatkan keberlanjutan minyak sawit yang diproduksi. Hingga kini, baru 31% lahan perkebunan sawit di Indonesia atau seluas 5,20 juta hektare (ha) yang tersertifikasi Indonesia Sustainable palm oil (ISPO). Sementara lahan yang tersertifikasi Roundtable on Sustainable palm oil (RSPO) baru 2 juta ha. “Kampanye negatif oleh LSM lingkungan terus berlangsung di Jenewa. Pemerintah bersama Gapki perlu melakukan public opinion, tapi kita juga perlu berbenah diri ke dalam,” kata Hasan.

Sementara terkait implementasi ISPO, selaku regulator pemerintah tidak akan mengintervensi proses penilaian dan penerbitan sertifikat tersebut. Sesuai Perpres No 44 Tahun 2020, kewenangan menerbitkan ISPO kini dipegang Lembaga Sertifikasi (LS).

 

Sumber: Investor Daily Indonesia