Jakarta, Gatra.com – Adalah sekitar 92 Refinery — kilang pemurnian — Crude Palm Oil (CPO) di 9 zona di Indonesia. Kapasitas pabrik itu macam-macam. Mulai dari yang berkapasitas 600 ton hingga 3000 ton per hari.
Untuk memurnikan CPO ini, kilang kemudian memakai Bleaching Earth (BE) atau bahan pemucat yang bersumber dari alam. Ada yang memakai lempung bentonite, arang aktif atau simmit atau lempung kaolin.
“CPO itu kan ada getahnya, kotoran, zat warna dan bau tak sedap. Bau tak sedap itu ada lantaran CPO mengandung Asam Lemak Bebas (ALB),” cerita Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat M Sinaga, saat berbincang dengan Gatra.com usai menjadi narasumber dalam webinar #LetsTalkAboutPalmOil sesi ke-36 tiga hari lalu.
Kebetulan di webinar yang dipandu oleh Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang itu, jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) 1973 ini yang menjelaskan panjang lebar tentang apa itu Spent Bleaching Earth (SBE).
“Nah, kalau CPO tadi mau dipakai untuk bahan makanan atau non makanan, musti dimurnikan dulu. Proses pemurniannya ada dua alur,” terangnya.
Pertama, kalau mau menghilangkan getah, kotoran dan zat warnanya, dipakai Bleaching Earth (BE). Terus yang kedua, kalau menghilangkan bau tak sedapnya dilakukan lewat proses Deodorization.
Sewaktu proses penyaringan, getah, kotoran dan warna kata Sahat akan terikat (adsorb) pada BE dan tertinggal di kain saringan. Ini disebut residual filtrasi.
“BE yang menyerap getah, zat warna, kotoran dan sebagian minyak sawit (sekitar 18%-28% berat BE) inilah yang disebut dengan SBE itu,” katanya.
SBE ini kata Sahat bukan seperti SBE dari minyak nabati polyunsaturated fatty acid — seperti yang dihasilkan jagung, rapeesed atau sunflower — yang bisa terbakar sendiri sewaktu musim panas.
Limbah ini malah bisa diolah menjadi De-OBE (De Oiled BE) dengan kandungan minyak maksimum 3% dan Recovered Palm Oil (R-Oil).
“De-OBE bisa sebagai bahan substitusi pasir saat membikin bahan bangunan atau land filling. Lalu R-Oil bisa pula jadi bahan baku pembuat bahan bakar berbasis Bahan Bakar Nabati (BBN) atau bisa juga untuk bahan Oleochemicals,” Sahat mengurai.
Togar mengamini apa yang dibilang Sahat tadi. “BE itu bahannya dari tanah dan kembali ke tanah. Itulah makanya judul webinar kali ini kita bikin Sian Tano Mulak Tu Tano,” lelaki ini tersenyum.
Lantaran dari tanah kembali ke tanah itulah kata Togar para pelaku usaha sempat tak berterima kalau SBE itu disebut limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). “Kalau SBE itu B3, apa yang dihasilkan Refinery itu beracun pula lah. Logikanya kan begitu,” katanya.
Dan gara-gara tak berterima itu pula sembilan tahun lalu, Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN) meminta Laboratorium Buangan Padat dan B3 Fakultas Teknik Lingkungan ITB menguji kandungan limbah SBE itu.
Hasilnya, SBE, Filter Aid Cake (alat bantu saringan), Scum cake dan Activated Carbon ternyata tidak mengandung logam berbahaya dan beracun.
Sebaliknya limbah itu malah bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, bahan pembenah tanah dan sumber energy. Terus, minyak nabati yang terikat dalam SBE bisa pula direcovery.
Alhasil, Laboratorium Buangan Padat dan B3 ITB kemudian mengusulkan agar SBE, Filter Aid Cake, Scum cake dan Activated Carbon tidak disebut limbah B3, tapi limbah biasa (khusus) yang pengelolaan, pengangkutan dan penyimpanannya tidak memerlukan ijin khusus dari KLH.
Memang kata Sahat, pada rentang tahun 2011-2013, hasil pengujian ITB tadi sempat berterima. Ini kelihatan dari penilaian PROPER Biru (taat aturan KLH) jika SBE disimpan dengan baik di lokasi pengumpulan limbah.
Tapi setelah 2014, SBE jadi masalah lagi. Yang tidak mengolah SBE langsung dicap merah alias tidak taat aturan KLH.
KLH menyebut SBE itu limbah B3 kata Sahat lantaran SBE dianggap residu filtrasi, seperti yang tertera pada PP 18 tahun 1999 jo PP 85 tahun 1999 tentang Pengolahan Limbah.
Lantaran limbah B3, penyimpanan sementara, angkutan, penyimpanan dan pengolahan SBE harus pakai ijin khusus dari KLH. Umur izin itu sangat singkat; setahun.
Tapi syukurlah. Setelah PP nomor 22 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup keluar, SBE sudah menjadi limbah Non-B3.
Dan gara-gara status baru ini, orang sudah langsung ancang-ancang membikin pabrik pengolahan SBE tadi. Namanya Solvent Extraction Plant (SEP).
Geliat ekonomi baru akan segera muncul dari hasil SEP ini.
Sumber: Gatra.com