Industri sawit diakui sebagai kontributor utama perekonomian Indonesia. Kendati demikian, kontribusinya tetap dapat dioptimalkan melalui pembenahan di segala sektor.

Hal ini terungkap dalam Dialog Akhir Tahun Majalah Sawit Indonesia yang bertemakan Membenahi Tata Kelola Sawit Nasional, Jakarta, Rabu (19 Desember 2018). Hadir dalam diskusi antara lain Bambang (Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI), Yon Arsal (Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Kementerian Keuangan RI), Sulistyanto (Ketua Tim Koordinasi Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Sawit), Sigit Nugroho (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan Enny Sri Hartati (Direktur INDEF).

“Banyak regulasi di daerah seperti retribusi dan pungutan yang tidak sesuai dengan regulasi pemerintah pusat. Untuk itu, sinkronisasi dan pengawasan di daerah baik oleh pemerintah dan KPK,” kata Kacuk Sumarto, Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Bidang Urusan Organisasi.

Pernyataan Kacuk mendapatkan sambutan meriah dari 110 peserta yang hadir dalam seminar. Peserta yang hadir datang dari perwakilan petani, pengusaha, akademisi, dan media.

Kacuk meminta pemerintah pusat supaya dapat mengharmoniskan antara aturan di daerah. Tujuannya memberikan kepastian dan kejelasan bagi dunia usaha. Dia mengusulkan semua pihak dapat duduk bersama sebagai upaya mengatasi persoalan tersebut dan memajukan Indonesia.

Berdasarkan data yang diolah KPK, terjadi tumpang tindih HGU dengan izin pertambangan sebanyak 3,01 juta hektare. Tumpang tindih HGU dengan IUPHHK-HTI seluas 534 ribu hektare, dan tumpang tindih HGU dengan IUPHHK-HA seluas 349 ribu hektare.

Menanggapi keluhan dunia usaha, Sulistyanto Ketua Tim Koordinasi Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Sawit menyatakan persoalan ketidakjelasan regulasi di daerah maupun pungutan yang memberatkan dunia usaha akan menjadi perhatian lembaganya. Dalam presentasinya, berdasarkan temuan KPK terjadi pengendalian izin tidak efektif (kasus tumpang tindih lahan) dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Penyebabnya ini tidak ada koordinasi antar pemerintah daerah dengan Kementerian/Lembaga dalam proses penerbitan dan perizinan.

Dalam upaya membenahi masalah di daera, KPK membentuk 9 Koordinator Wilayah (Korwil) di 34 Provinsi. Pembentukan korwil ini erat kaitannya untuk menjerat kepala daerah dalam kasus tindak pidana korupsi.

Salah satu tugas Korwil, kata Sulistiyanto, mengawasi berbagai aturan di daerah termasuk ketidakjelasan penerapan di satu daerah. Sebagai contoh, ada peraturan gubernur di Kalimantan Tengah yang direkomendaikan supaya direvisi. “Yang saya tahu Kalimantan Tengah menerbitkan Pergun dengan tujuan pembangunan daerah. Tetapi kami belum tahu, apakah (retribusi) dikembalikan kepada pembangunan daerah atau tidak,” ujarnya.

Menurutnya, pelaku usaha dapat juga memberikan laporan terkait ketidakpastian dalam sebuah regulasi daerah. “Silakan laporkan kepada kami kalau ada ketidakjelasan (aturan) di daerah,” paparnya.

KPK merekomendasikan  pemerintah untuk memperbaiki sistem perizinan. Tujuannya demi meningkatkan akuntabilitas izin usaha perkebunan sehingga tingkat kepatuhan kewajiban keuangan, administrasi, dan lingkungan hidup usaha perkebunan mencapai 100%.

“KPK juga mempunyai tim Koordinasi Supervisi dan Pencegahan. Kalau indikasi korupsi (di daerah) maka bisa melaporkan ke bagian pengaduan masyarakat,” kata Sulistiyanto.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) Bambang mengatakan, pihaknya sedang mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Perijinan Perkebunan (Siperibun) untuk memperbaiki tata kelola sawit. “Sejauh ini, jumlah perizinan yang dihimpun Ditjenbun mencapai 1.380 perizinan dengan jumlah pelaku usaha 2.121 perusahaan di 13 provinsi dan 97 kabupaten,”ujarnya.

Ada tiga fungsi Siperibun yaitu integrasi data dan informasi perizinan usaha perkebunan di skala nasional, membuat instrumen pembinaan dan pengawasan perizinan usaha perkebunan, ditambah lagi koordinasi dan informasi bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan masyarakat.

Dari sektor pajak, Yon Arsal, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, penerimaan pajak pada industri sawit merupakan industri yang sangat komprehensif. “Apa saja yang diproduksi dari bahan baku sawit mampu menghasilkan pendapatan bagi negara melalui penerimaan pajak. Mulai dari buah sawit, bisnis sawit mulai dari hulu hingga hilirnya menghasilkan potensi penerimaan pendapatan untuk negara,” ungkap Yon Arsal, saat Dialog Sawit akhir tahun, pada pertengahan Desember 2018, di Jakarta.

Menurutnya, sawit sangat potensial sebagai sumber penerimaan pajak. Dari data yang ada, Indonesia menjadi pemain sawit besar di dunia, 56% sawit di dunia berasal dari Indonesia dan 36% dari Malaysia. Tetapi penerimaan pajak dari sektor sawit belum optimal sehingga menjadi tantangan untuk meningkatkan perolehan pajak.

Data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat kontribusi PDB sektor Perkebunan terhadap PDB Nasional pada 2014 (Rp338,50 triliun), 2015 (Rp345,16 triliun), 2016 (Rp357,14 triliun), 2017 (Rp373,05 triliun).

Walaupun industri sawit mampu memberikan pendapatan bagi negara, tetapi potensi yang dimiliki belum tergali secara optimal. Potensi ini dapat dilihat dari tax ratio. Secara umum tax ratio Indonesia berada pada 11% – 12%, namun untuk sawit masih di bawah standar yaitu masih di angka 6% – 7%.

Di sektor kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan  fungsi kawasan hutan salah satunya aspek ekonomi. Pada aspek ekonomi, pemerintah dalam hal ini KLHK juga mempunyai tanggung jawab dengan mengalokasikan ruang yang dimanfaatkan menjadi perkebunan sawit.

Sigit Nugroho, Kasubdit Perubahan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan KLHK menegaskan ada skema untuk pelepasan kawasan hutan dengan proses dan persyaratan yang harus diikuti bersama. “Kemudian ada cara lain yaitu bisa juga memanfaatkan fungsi hutan produksi terbatas dan tetap. Tetapi dengan cara tukar menukar fungsi kawasan hutan,” tegasnya.

Sumber: Sawitindonesia.com