Masyarakat dan pedagang menolak larangan minyak goreng curah (MGC) mulai tahun 2020. Larangan ini bisa mengguncang perekonomian rakyat. Banyak rumah tangga dan UMKM bisa terpukul. Sejak 2014 sudah direncanakan, namun larangan tertunda karena terjadi dilema di tengah masyarakat.

Larangan pernah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 80/2014 yang mulai berlaku 27 Maret 2015, namun ditunda setahun guna mewajibkan minyak goreng dikemas dengan merek Standar Nasional Indonesia (SNI). Penundaan sampai 27 Maret 2016. Namun implementasinya ditunda lagi hingga Februari 2017, dan terus tertunda sampai kini.
Tujuan Kementerian Perdagangan mewajibkan produsen minyak goreng mengemas SNI untuk menjamin produk higienis dan aman untuk masyarakat, sehingga tidak menimbulkan berbagai penyakit seperti kolesterol. Selama ini, penjualan MGC kurang higienis dan tidak dikemas dengan baik, sehingga kandungan vitamin A dan D berkurang. Ini tidak baik bagi kesehatan.

Pelarangan pada tahap awal menurut Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, MGC tak akan ditarik dari pasaran. Namun, penjualannya harus dikemas sederhana. Harga MGC dalam kemasan dipatok menyesuaikan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) 11.000 rupiah per liter, mulai tahun depan. Patokan tersebut lebih tinggi dari harga MGC sekarang 5 ribu per liter.

Minyak goreng merupakan kebutuhan pokok rumah tangga. Proses pemanasan tinggi akan menghasilkan asam lemak bebas, senyawa karbonil, dan peroksida yang dapat menyebabkan keracunan kronis. Minyak goreng bekas yang terus menerus digunakan mengandung senyawa berbahaya tersebut.

Selama ini, ada praktik tidak terpuji untuk memanipulasi minyak goreng bekas hingga terlihat jernih lagi. Hal itu tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan. Cara manipulasi menggunakan karbon dari tongkol jagung yang direkatkan dengan tepung kanji. Ini menjadi salah satu cara untuk menjernihkan minyak bekas pakai tersebut.
Perbuatan mengubah minyak bekas pakai atau jelantah penggunaan karbon tongkol jagung perlu pernyataan tegas dari Kementerian Kesehataan dan BPOM. Sebab para pelaku selama ini berdalih, minyak goreng bekas pakai yang semula berwarna cokelat kehitaman mengalami degradasi warna jernih. Selain itu, kandungan asam lemak bebasnya juga dapat menurunkan kadar minyak goreng bekas.

Menurut Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), MGC bisa lebih murah karena tidak ada biaya pengemasan, sedangkan biaya pengemasan minyak kemasan bisa mencapai 12 persen dari total biaya produksi minyak goreng kemasan. Dengan kata lain, harga MGC setidaknya bisa lebih murah 12 persen dari minyak goreng kemasan.
MGC didistribusi dari pabrik dalam drum berukuran 180 liter ke agen yang akan mengemasnya kembali dalam jerigen berukuran 10 liter hingga 20 liter. Jeriken lalu disalurkan ke pedagang eceran yang menjualnya kepada penjual dalam kemasan plastik. MGC biasanya dijual ke pasar tradisional, bukan pasar modern, sehingga biaya distribusi lebih murah dari minyak goreng dalam kemasan.

MGC ada yang berasal dari minyak bekas atau jelantah yang disaring dengan zat tertentu, sehingga biaya produksinya jauh lebih murah dari minyak curah dari pabrik langsung. Biasanya, MGC yang harganya tak sampai separuh dari minyak goreng kemasan berasal dari minyak jelantah. Harga minyak bekas itu bisa 2.000 per liter. Kemudian, diolah dengan biaya 700 per liter.

Dukung
Padahal, zat-zat pengolah minyak jelantah berbahaya bagi kesehatan seperti meningkatkan kolesterol dan memicu kanker. Maka, masyarakat mestinya mendukung rencana pemerintah untuk melarang penggunaan minyak goreng curah. Terlebih, di Indonesia belum ada sistem pengawasan perdagangan minyak goreng jelantah.
Tetapi kebijakan pemerintah perlu juga memperhatikan kelangsungan usaha pedagang kecil yang selama ini memakai MGC. Untuk menghemat biaya produksi minyak goreng dalam kemasan, produsen bisa bekerja sama dengan agen penjualan menggunakan mesin anjungan minyak goreng higienis otomatis (AMH-O).

Ada solusi praktis untuk mengatasi biaya proses produksi minyak goreng hingga menjadi kemasan. Di antaranya, menggunakan mesin buatan BUMN, sehingga biaya distribusi dan pengemasan bisa lebih efisien karena produsen dapat mengirim dalam bentuk jerigen ukuran 18 hingga 25 liter ke agen penjual. Pengemasan dilakukan secara otomatis menggunakan mesin AMH-O di agen penjual.

Mesin minyak goreng buatan BUMN harganya sekitar delapan juta per unitnya, setengah lebih murah dari mesin serupa yang diimpor. Harga jual tersebut sudah menutupi setidaknya 70 persen biaya produksi. Kandungan lokal (tingkat kandungan dalam negeri/TKDN) mesin ini telah mencapai 65 persen dengan nilai investasi 1,49 triliun rupiah.
Adapun kapasitas produksi massal atau fabrikasi mesin BUMN mencapai 100 unit per hari. Dengan mesin buatan anak bangsa itu, diharapkan masyarakat luas bisa mendapat minyak goreng higienis dengan harga terjangkau. Petani sawit perlu insentif untuk membangun pabrik minyak goreng. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) perlu didorong untuk membangun pabrik minyak goreng mini dengan kapasitas produksi 400–600 kilogram (kg) per hari.

Dengan mesin tersebut, minyak goreng akan dikemas dan dipasarkan dengan merek Apkasindo. Harganya di bawah minyak goreng kemasan keluaran perusahaan sawit besar. Dengan demikian, pasar minyak goreng skala industri kecil dan menengah bisa tebentuk.

Pembangunan pabrik minyak goreng mini merupakan bagian dari upaya hilirisasi yang digalakkan Apkasindo. Harapannya bisa menjadi salah satu instrumen untuk mengangkat harga tandan buah segar (TBS) petani sawit rakyat dan mengurangi ketergantungan pada pabrik-pabrik perusahaan yang lebih condong menyerap hasil panen dari petani plasma (mitra perusahaan).

Hal itu merupakan salah satu bentuk diversifikasi minyak sawit agar pelaku usaha tidak hanya menjual CPO. Dengan cara ini, petani tidak menjual TBS. Mereka bisa mengolah sendiri dan harganya pun tinggi setelah menjadi produk minyak goreng.

 

Sumber: Koran Jakarta