Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) meminta pemerintah khususnya pemerintah daerah (pemda) membenahi tata niaga sawit nasional dengan memutus keberadaan para pengepul di antara rantai pasok tandan buah segar (TBS) petani ke pabrik kelapa sawit (PKS). Para pengepul diduga menikmati 30-35% dari harga TBS yang seharusnya menjadi milik petani.

Wakil Ketua I DMSI Sahat Sinaga meminta pemerintah memutus keberadaan pengepul di antara rantai pasok TBS petani ke PKS, dalam hal ini pemda paling bertanggung jawab untuk mengatasi kondisi tersebut. “Lintah darat yang berada di antara PKS dan petani, yakni pengepul, harus dihilangkan. Pemerintah harus mengatasi ini, keberadaan mereka itu menikmati 30-35%, termasuk ongkos angkut, dari harga TBS yang seharusnya bisa dinikmati petani,” kata Sahat, kemarin.

Di sisi lain, petani-petani kelapa sawit yang bukan mitra plasma agar berkelompok, sehingga PKS mau mendatangi dan membeli TBS langsung dari petani. “Jadi, selain menghapus pengepul, pemerintah harus memperbaiki infrastruktur supaya PKS bisa langsung ke petani. Dal hal ini, petani juga tidak bisa hanya mengeluh, mereka harus berkelompok. Kalau panen cuma dua tandan, siapa yang mau beli, kalau berkumpul, tentu tidak lagi harus ke pengepul,” kata Sahat.

Secara terpisah, Ketua Umum DPP Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade) Tolen Ketaren menuturkan hal senada dalam focus group discussion (FGD) tentang Menahan Kejatuhan Harga CPO, Menyelamatkan Petani yang digelar Investor Daily di Jakarta, Rabu (5/12). Tolen mengatakan, harga TBS petani swadaya lebih murah Rp 300 per kilogram (kg) dari petani plasma. “Ini karena ada pihak ketiga. Kami berharap, petani bisa menjual langsung ke PKS. Selama ini, keberadaan pengepul turut menekan harga TBS petani menjadi rendah. Kami sudah menyampaikan hal ini kepada Gapki supaya setidaknya menginstruksikan ke anggotanya supaya tidak ada lagi pengepul. Kami juga berharap supaya ada instruksi dari Presiden soal ini,” kata Tolen.

Sementara itu, Sahat juga mengusulkan agar pemerintah memacu ekspor ke wilayah Timur Tengah dan Afrika Timur. Alasannya, Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) saat ini bukan lagi pasar tujuan ekspor yang kondusif untuk minyak sawit Indonesia. Di Timur Tengah, ada potensi pasar setidaknya 200 juta populasi dan di Afrika Timur ada 380 juta populasi. Untuk memacu ekspor dalam waktu yang cepat, kedua wilayah tersebut harus menjadi fokus, sehingga stok minyak sawit nasional bisa segera terserap sebanyak-banyaknya. “Ini sambil terus memacu pelaksanaan B20 dan B30 di dalam negeri. Di dua wilayah itu, sawit tidak diserang oleh isu negatif. Hanya saja, di sana tidak ada refinery. Jadi, kita tidak berpeluang memacu ekspor CPO. Pilihan hanya pada turunan CPO, seperti RBD olein, RBPDPO, atau minyak goreng kemasan,” kata Sahat.

Untuk itu, lanjut Sahat, pemerintah perlu mengkaji kembali kebijakan terkait penentuan pungutan ekspor Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) yang baru saja direvisi. Dalam pandangan DMSI, menolkan pungutan CPO itu tidak ada gunanya. Sebab, hilirisasi CPO di dunia ini yang berkembang hanya di Indonesia dan Malaysia, negara lain sudah tutup dan mereka lebih menikmati pasokan produk turunan CPO dari Indonesia. “Kita harus memacu ekspor olahan CPO, salah satunya besaran pungutan BPDP KS atas produk turunan CPO harus lebih rendah setidknya US$ 40 per ton dibandingkan pungutan atas CPO,” kata Sahat.

Ekspor Biodiesel

Dalam kesempatan itu, Sahat menuturkan, mengenakan pungutan ekspor atas fatty acid methyl ester (FAME) juga langkah yang tidak tepat, meski saat ini masih dinolkan karena harga CPO yang masih di bawah US$ 570 per ton. Kapasitas industri biodiesel nasional saat ini terpasang 12 juta kiloliter dan yang dikonsumsi dalam negeri baru sekitar 4 juta kiloliter. “Mungkin, tahun depan baru sekitar 6 juta kiloliter, lalu kenapa harus dikenakan pungutan ekspor,” kata Sahat Sinaga.

Menurut Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan, ekspor biodiesel tahun ini bisa mencapai 1,60-1,70 juta kiloliter. Angka itu diperkirakan naik menjadi 2 juta kiloliter pada 2019, permintaan terbesar diprediksi berasal dari Tiongkok dan Eropa.

 

Sumber: Id.beritasatu.com