DPR khawatir penggunaan dana perkebunan kelapa sawit untuk mensubidi penggunaan biodiesel akan menjadi masalah dikemudian hari. Sebab tidak ada dasar Undang-Undang yang mengarahkan dana tersebut untuk sektor energi.
Wakil Ketua Komisi II Herman Khaeron mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 309 Tahun 2014 tentang perkebunan, menyebutkan penggunaan dana perkebunan hanya untuk meningkatkan produktifitas perkebunan, bukan untuk pengembangan energi.
“Karena dalam Undang-Undang perkebunan untuk meningkatkan produktifitas perkebunan,” kata Herman, dalam sebuah diskusi, di Kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (11/7/2019).
Herman menyambut baik program pemerintah, mengenai penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) dalam campuran Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab dapat mengurangi impor minyak yang saat ini menjadi beban pemerintah.
Namun menurutnya, perlu adanya payung hukum berupa Undang-Undang yang mengatur, yaitu Undang-Undang EBT.
Oleh sebab itu, dia mengusulkan, dalam Undang-Undang EBT dapat dimasukan klausul penggunaan dana perkebunan untuk pengembangan EBT, melalui pencampuran BBN dengan BBM.
“Kalau ini disinergikan dengan METI dan entitas sawit rasanya sederhana, tapi nyatanya tidak sederhana juga karena EBT belum memiliki payung hukum yang memadai, karena ini bergantung pada peraturan perundangan, ” tandasnya.
Salah satu alasan pemanfaatan olahan sawit sebagai pengganti bahan bakar fosil yang kian menipis cadangannya, dengan penggunaan bahan bakar terbarukan berbahan Crude Palm Oil (CPO). Bahan bakar tersebut melimpah dan berpotensi mewujudkan ketahanan energi nasional.
Ketua Umum Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA) yang juga Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Desrial mengatakan, saat ini Kementerian Pertanian memiliki teknologi yang bisa memproduksi biodiesel 100 persen dari CPO (Biodiesel B100). Teknologi ini menurut Desrial menjadi jawaban atas semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil.
“Sejak 2004 kecenderungan bahan bakan fosil makin menipis, harganya makin mahal. Saat ini, antara produksi bahan bakar fosil kita dengan impor rasionya makin tipis. Ini menjadi sesuatu yang mengerikan bagi masa depan Indonesia jika terus bergantung di dalamnya,” ucap salah satu peneliti biofuel di Kementerian Pertanian ini pada Forum Tematik Bakohumas di kawasan Lido, Bogor, Kamis (4/7).
Berdasarkan data yang dimiliki, Desrial menjelaskan, luasan lahan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,03 juta ha dengan produksi mencapai 41,67 juta ton. Sementara konsumsi solar dalam negeri mencapai 25 ribu ton, setengahnya dipenuhi dari impor.
Jika menerapkan penggunaan B100 sebagai pengganti solar, hanya membutuhkan 15 persen dari ketersediaan CPO.
“Dari sisi sustainability-nya tidak bermasalah. Meski tidak ada penambahanl luas lahan sawit, ketersedian bahan bakunya 20 sampai 30 tahun lagi masih cukup. Paling hanya mengurangi kuota ekspor, dari 75 persen menjadi sekitar 60 persen,” imbuhnya.
Salah satu alasan pemanfaatan olahan sawit sebagai pengganti bahan bakar fosil yang kian menipis cadangannya, dengan penggunaan bahan bakar terbarukan berbahan Crude Palm Oil (CPO). Bahan bakar tersebut melimpah dan berpotensi mewujudkan ketahanan energi nasional.
Ketua Umum Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA) yang juga Dosen Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Desrial mengatakan, saat ini Kementerian Pertanian memiliki teknologi yang bisa memproduksi biodiesel 100 persen dari CPO (Biodiesel B100). Teknologi ini menurut Desrial menjadi jawaban atas semakin menipisnya cadangan bahan bakar fosil.
“Sejak 2004 kecenderungan bahan bakan fosil makin menipis, harganya makin mahal. Saat ini, antara produksi bahan bakar fosil kita dengan impor rasionya makin tipis. Ini menjadi sesuatu yang mengerikan bagi masa depan Indonesia jika terus bergantung di dalamnya,” ucap salah satu peneliti biofuel di Kementerian Pertanian ini pada Forum Tematik Bakohumas di kawasan Lido, Bogor, Kamis (4/7).
Berdasarkan data yang dimiliki, Desrial menjelaskan, luasan lahan perkebunan sawit di Indonesia mencapai 14,03 juta ha dengan produksi mencapai 41,67 juta ton. Sementara konsumsi solar dalam negeri mencapai 25 ribu ton, setengahnya dipenuhi dari impor.
Jika menerapkan penggunaan B100 sebagai pengganti solar, hanya membutuhkan 15 persen dari ketersediaan CPO.
“Dari sisi sustainability-nya tidak bermasalah. Meski tidak ada penambahanl luas lahan sawit, ketersedian bahan bakunya 20 sampai 30 tahun lagi masih cukup. Paling hanya mengurangi kuota ekspor, dari 75 persen menjadi sekitar 60 persen,” imbuhnya.
Sumber: Liputan6.com