AKURAT.CO Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menampik adanya dugaan kartel minyak goreng. Menurutnya, kecil sekali kemungkinan produsen sawit Indonesia bisa mengatur harga sawit di pasar global.
“Di pasar global, jumlah produsen sawit ada 53 negara, mulai Amerika Latin, Oceania, Asia, dan Afrika. Kami juga menjelaskan bagaimana pengaruh antara minyak sawit dan 17 jenis minyak nabati dan lemak lain di pasar global,” papar dia.
Sahat menambahkan, Indonesia menjadi produsen minyak sawit (CPO) dunia dengan produksi tahunan mencapai lebih dari 46 juta ton setiap tahun. Meski demikian, Indonesia tak mampu mengendalikan harga ketika terjadi lonjakan harga CPO global yang turut berdampak pada naiknya harga berbagai produk turunannya, salah satunya minyak goreng.
Karena tingkat konsumsi dalam negeri yang lebih kecil dari luar negeri, Indonesia tidak bisa menjadi penentu harga (price leader) dari sawit.
“Kami melihat, kita adalah produsen terbesar di dunia. Tapi, kita baru bisa menjadi price leader (penentu harga) apabila konsumsi domestik sudah mencapai 60 persen dari total produksi kita,” kata Sahat.
Hingga 2021, lanjutnya, porsi konsumsi pasar domestik terhadap produk minyak sawit sebanyak 35 persen dari total produksi. Itu sudah mengalami kenaikan dari 2019 lalu sebesar 31 persen. Adapun pada 2022, porsi konsumsi domestik diperkirakan naik menjadi 37 persen.
Meski terus mengalami kenaikan, porsi konsumsi domestik masih menjadi kendala bagi Indonesia untuk menjadi penentu harga dunia. Itu sebabnya, harga minyak goreng saat ini masih sangat tergantung pada situasi harga CPO global.
Menurut Gapki, kelangkaan stok dan lonjakan harga minyak goreng disebabkan fenomena panic buying. Sehingga, ketika ada stok minyak goreng, warga langsung menyerbu barang pokok tersebut.
“Kalau saya meyakini tidak ada masalah kartel, tetapi lebih baik KPPU yang membuktikan. Seharusnya masalah minyak goreng sudah teratasi, hanya panic buying,” ungkap Sekretaris Jenderal Gapki, Eddy Martono.
Sebelumnya, KPPU menduga 27 perusahaan melakukan kartel atau penetapan harga minyak goreng secara serempak. KPPU telah menyelidiki kasus dugaan kartel minyak goreng sejak 30 Maret 2022. Penyelidikan itu tertera dengan nomor register: 03-16/DH/KPPU.LID.I/III/2022 tentang Dugaan Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 terkait Produksi dan Pemasaran Minyak Goreng di Indonesia.
Untuk melengkapi alat bukti yang ada, KPPU telah memanggil para pihak yang berkaitan dengan dugaan, seperti produsen minyak goreng, asosiasi, pelakuritel, dan sebagainya.
Dari proses penyelidikan itu, KPPU menemukan dua jenis alat bukti dan menetapkan 27 perusahaan yang diduga melakukan kartel minyak goreng.
Puluhan terlapor itu diduga melanggar dua pasal sekaligus dalam UU Nomor 5 Tahun 1999, yakni pasal 5 tentang penetapan harga dan pasal 19 huruf c terkait pembatasan peredaran atau penjualan barang atau jasa.