Masih adanya beberapa faktor penghambat seperti perang dagang China-AS dan harga minyak fosil, membuat perdagangan minyak sawit tidak sesuai harapan.

Dikatakan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, volume ekspor minyak sawit kendati tumbuh 3,6% namun tidak sesuai ramalan sebelumnya, terlebih untuk tahun ini ekspor kembali didominasi minyak sawit mentah (CPO), dimana volume ekspor minyak sawit olahan pada semester I 2019 diprediksi hanya mencapai 17,4 juta ton, atau lebih rendah dibandingkan tahun 2018 yang mampu mencapai 18,4 juta ton pada periode yang sama.

“Ekspor minyak sawit di semester II 2019 diperkirakan bisa meningkat hanya saja dengan catatan bila pemerintah menerbitkan regulasi ekspor yang mendukung, bila tidak maka volume ekspor minyak sawit bakal kembali stagnan,” kata Sahat, kepada InfoSAWIT, dalam acara  Buka Bersama GIMNI, Aprobi dan Apolin di Jakarta, belum lama ini di Jakarta.

Peningkatan ekspor minyak sawit mentah ini, lebih lanjut tutur Sahat, akibat adanya kebijakan membuat batas bawah pada pungutan sawit mendorong para pelaku kelapa sawit lebih menyukai melakukan ekspor minyak sawit mentah ketimbang mengekspor produk hilir. “Sehingga pilihannya produk hilir lebih cenderung untuk pasar lokal dibandingkan untuk ekspor,” katanya.

Tercatat, konsumsi minyak sawit domestik naik sekitar 6,6%, kenaikan ini terdongkrak lantaran adanya program kewajiban (mandatori) penggunaan campuran biodiesel sawit sebanyak 20% ke minyak solar (B20).

Serapan ini biodiesel ini diprediksi akan terus meningkat dengan tambahan serapan dari green diesel berbasis sawit yang saat ini baru mampu memproduksi green diesel 12,5% co processing. Namun pengembangan green diesel diyakini tidak mudah, apalagi butuh treatmen khusus untuk tanki timbunnya. “Green diesel sawit tidak bisa disamakan dengan solar biasa, tanki timbunnya butuh investasi lebih seperti perlu dilakukan coating, dan treatmen pemanasan,” tandas Sahat.

Sumber: Infosawit.com