JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat nilai ekspor sawit terkerek 9,45% menjadi US$ 5,32 miliar sepanjang Januari-Maret 2020. Kenaikan ini ditopang tren harga CPO sepanjang periode tersebut. Kendati, volume ekspor mengalami kelesuan 16,5%.
Berdasarkan data GAPKI, produksi 2020 lebih rendah 14%, konsumsi dalam negeri lebih tinggi 7,2% dibandingkan Januari-Maret 2019. Sementara itu, produksi minyak sawit pada bulan Maret adalah sedikit lebih rendah (-0,9%) dari produksi bulan Februari 2020 sedangkan konsumsi dalam negeri turun 3,2%, ekspor naik 3,3% , dan harga CPO turun dari rata-rata USD 722 pada bulan Februari menjadi USD 636 per ton-Cif Rotterdam pada bulan Maret tetapi nilai ekspornya naik 0,6% menjadi USD 1,82 miliar.
Ekspor minyak sawit mengalami kenaikan sebesar 83 ribu ton degan kontribusi utama dari CPO (113 ribu ton) dan oleokimia (63 ribu ton). Kenaikan ekspor terbesar terjadi untuk tujuan Bangladesh, Afrika dan China. Ekspor ke EU, India dan Timur Tengah sedikit naik sedangkan ekspor ke Pakistan dan USA turun. Kenaikan ekspor ke China karena diiformasikan China telah mulai pulih dari pandemi Covid-19.
“Kegiatan operasional di perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit masih berjalan normal. Secara alami pelaksanaan pekerjaan di operasional perkebunan dan PKS memang berjauhan sehngga physical distancing terjadi dengan sendirinya,” ujar Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif GAPKI dalam keterangan tertulis.
Di dalam negeri, konsumsi minyak untuk pangan dalam negeri turun sekitar 8,3% sebaliknya konsumsi untuk produk oleokimia naik sebesar 14,5% dan konsumsi biodiesel relatif tetap. Ketidakpastian waktu teratasinya pandemi covid-19 menjelang puasa menyebabkan konsumsi minyak sawit untuk produk pangan menurun.
Yang menggembirakan, produksi oleokimia naik karena kebutuhan bahan pembersih sanitizer meningkat. Dari 68 ribu ton kenaikan konsumsi oleokimia, 55% terjadi pada gliserin yang merupakan bahan pembuatan hand sanitizer. Konsumsi minyak sawit untuk biodiesel relatif tetap, padahal harga minyak bumi rendah dan konsumsi solar turun sekitar 18%.
“Covid-19 telah mengganggu perekonomian dunia, tetapi semua negara tidak akan sanggup berlama-lama dalam situasi seperti saat ini dan harus segera bangkit. Oleh sebab itu, peningkatan produktivtas dan efisiensi harus menjadi prioritas untuk menjaga viabilitas dari industri,” pungkas Mukti.
Sumber: Sawitindonesia.com