Pemerintah menyatakan bahwa minat investasi di bisnis hilir sawit nasional masih tinggi. Saat ini, setidaknya terdapat empat perusahaan yang tengah dan akan mengembangkan bisnis tersebut dengan total investasi paling sedikit Rp 3,40 triliun.
Lokasi yang dipilih para pemodal tersebut adalah Pangkalanbun (Kalimantan Tengah), Dumai (Riau), Mempawah (Kalimantan Barat), Bontang (Kalimantan Timur), dan Batam (Kepulauan Riau).
Dua dari keempat perusahaan tersebut telah diketahui investasinya, yakni PT Citra Borneo Industri yang membangun pabrik minyak goreng di Pangkalan Bun dengan investasi Rp 1,20 triliun dan PT Apical Kao Chemical yang membangun pabrik oleokimia di Dumai dengan investasi Rp 2,20 triliun. Dua perusahaan lainnya adalah PT Pelita Agung Agri industri yang akan membangun pabrik minyak goreng dan biodiesel di Pelintung, Dumai, dan PT Energy Unggul Persada yang juga akan membangun pabrik minyak goreng dan biodiesel di Mempawah, Bontang, dan Batam.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo mengatakan, investasi hilir berbasis minyak sawit masih terus tumbuh, terbukti saat ini masih banyak calon investor yang ingin masuk ke subsektor itu. Yang terbaru, dua perusahaan belum lama ini mengajukan permohonan insentif investasi tax allowance kepada pemerintah. Penelitian dan pilot project hilirisasi sawit untuk energi juga terus berjalan. “Sesuai data yang masuk ke kami, masih banyak calon investor yang masuk di bidang industri hilir sawit, baik di segmen oleokimia, biodiesel, maupun minyak goreng. Tahun ini saja, ada investasi oleh perusahaan oleokimia, biodiesel, dan minyak goreng, lokasinya di antaranya di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Dumai, sedang tahap konstruksi,” kata Edy di Jakarta, kemarin.
Menurut Edy, PT Citra Borneo Industri dan PT Apical Kao Chemical telah mendapatkan insentif investasi tax allowance dari pemerintah. Untuk tax allowance, perusahaan dapat menikmati insentif fiskal hingga 5% dari nilai aktiva tetap investasi, dalam durasi selama enam tahun setelah investasi yang ditanamkan beroperasi secara komersial. Sedangkan PT Pelita Agung Agriindustri dan PT Energy Unggul Persada sedang mengajukan permohonan tax allowance. Pabrik minyak goreng dan biodiesel PT Energy Unggul Persada akan dilengkapi fasilitas tangki di Sin-tang dan Dumai. “Semua itu membuktikan investasi di hilir sawit dalam negeri belum jenuh. Investor masih melihat adanya prospek yang bagus di bisnis hilir sawit nasional,” kata Edy.
Kemenperin mencatat, hingga saat ini, Indonesia telah mampu menghasilkan 158 jenis produk turunan sawit. Angka itu diprediksi akan terus bertambah menyusul berkembangnya riset-riset yang didanai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS). Edy juga menyatakan, ITB dan Pertamina saat ini tengah menggarap pilot project pengembangan greendiesel dan bioavtur. Kemenperin optimistis pengembangan energi berbasis sawit oleh industri di Indonesia bisa terwujud mulai 2020. “Pihak Malaysia sebenarnya juga sangat tertarik dengan hasil penelitian kita tersebut. Tapi, mungkin kita sangat mengharapkan investor dari dalam negeri yang masuk. Harapannya, BUMN. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Edy.
Produk Hilir Baru
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menuturkan, pemerintah mencanangkan hilirisasi industri sawit pada akhir 2011 melalui PMK No 128 Tahun 2011 yang mengatur pengenaan
bea keluar (BK/pajak ekspor) atas produk hulu dengan tarif tinggi. Besaran pajak yang dikenakan atas produk sawit hulu selisih 7,50-8% lebih tinggi dari produk hilir. “Karena insentif ini, investasi industri hilir, yakni refinery/ fraksionasi, oleokimia, dan industri biodiesel meningkat pesat sepanjang 2012-2015. Sejak hilirisasi industri sawit dipacu, saat ini Indonesia mampu menghasilkan penambahan nilai atas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga level keempat yang menghasilkan setidaknya 118 produk turunan, di antaranya superolein, margarin, glycerin murni, new vegetable oils, FAME, dan new ester oils,” ujar dia.
Sahat menjelaskan, hingga 85% investasi industri hilir sawit adalah oleh modal dalam negeri. Di sisi lain, pada 2020 Indonesia seharusnya sudah mampu membangun industri hidro-deoksigenasi atau dekarboksilasi dan perangkahan katakitik yang akan menghasilkan di antaranya greendiesel dan greengasoline. Hingga akhir 2018, produksi CPO dan minyak kernel (CPKO) Indonesia bakal mencapai 58,21 juta ton dengan total konsumsi 47,48 juta ton dengan penggunaan domestik 27,60% dan ekspor sebesar 72,40%. Sepanjang 2014-2018, pasar industri sawit domestik selain FAME bertumbuh 9,43% per tahun, sedangkan ekspor naik 7,94% per tahun yang Mencakup industri refine, fraksionasi dan modifikasi (RFM), oleokimia, dan RBD Olein.
Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), ekspor Oktober 2018 terdiri atas 760.820 ton CPO (porsi 24%) dan produk turunan 2,34 juta ton (porsi 76%). Hingga Oktober 2018, Indonesia sudah mengekspor 4,90 juta ton CPO atau 18% dan produk turunan 21,17 juta ton atau 82%. Pola itu berubah dari September 2018 yang sebesar 3,18 juta ton dengan porsi 23% CPO dan 77% processed. “Sektor sawit dengan hilirisasinya telah mampu menghasilkan perputaran nilai ekonomi US$ 58 miliar. Dengan pengembangan sawit untuk energi menuju greendiesel hingga greengasoline, sektor ini bakal mampu berkontribusi hingga 15% terhadap produk domestik bruto (GDP) nasional. Kemungkinan, itu bisa tercapai 2030, saat ini kontribusi sektor ini baru 6%. Itu arah yang ingin kita capai dengan memacu hilirisasi sawit,” kata Sahat.
Sumber: Investor Daily Indonesia