JAKARTA. Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menilai kesepakatan Uni Eropa dalam Renewable Energy Directive II (RED II) terkait minyak nabati terlalu menggunakan referensi dari Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Saat ini, komisi Eropa memberikan tenggat waktu hingga Februari 2019 untuk menyusun kriteria ILUC.
Melalui penyusunan kriteria ILUC tersebut, akan disusun kategori penggunaan lahan tidak langsung yang berisiko rendah (low risk) atau tinggi (high risk), di dalam kebijakan renewable energy directive II (RED II).
Sahat Sinaga, Wakil Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) menyebutkan bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan jika kebijakan ini diberlakukan. Ia menyebut bahwa sejauh ini pangsa pasar CPO bukan hanya Eropa saja.
“Tapi kenapa Indonesia harus khawatir? Pasar kita kan ada di Afrika Timur,” katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (2/10).
Menurut Sahat, sentiment dari Eropa yang memiliki sifat kolonialisme masih ada. Bahkan Sahat menilai Eropa takut dengan adanya ekspor CPO dapat membuat minyak nabati berbasis rapeseed akan terkalahkan dengan ekspor CPO Indonesia.
“Tidak usah khawatir, Eropa bilang itu silahkan saja, Kenapa kita harus ribut? Jangan Eropa berpikir hanya pasar itu dia (Eropa). Dia bikin kebijakan macam-macam itu karena khawatir kalau produk mereka seperti rapeseed oil tidak laku, jadi di bikin aturan-aturan itu,” ungkapnya.
Sumber: Kontan.co.id