Jakarta, CNBC Indonesia – Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) di pasar internasional diprediksi tak kan mampu lampaui level MYR4.000 hingga akhir tahun nanti.

Padahal, harga CPO sempat cetak rekor ke MYR7.104 per ton pada 29 April 2022, mengutip chart tradingeconomics.

Sejak awal tahun 2022, harga CPO internasional terpantau terus menanjak, bertahan di atas MYR4.500 per ton. Setelah cetak rekor, harga CPO terus berfluktuasi dan dalam tren melandai.

Pada 8 September 2022, harga CPO internasional cetak posisi terendah sejak pertengahan Juni 2021, ke posisi MYR3.541 per ton.

“Harga CPO akan sideway di MYR3.500-4.000. Belum ada momentum bearish ataupun bullish yang terlalu kuat saat ini. Walaupun produksi tumbuh tipis, demand akan tergerus resesi. Jadi sulit untuk naik di atas MYR4.000,” kata Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi kepada CNBC Indonesia, Rabu (14/9/2022).

Lionel mengatakan, ramalan peluang terjadinya resesi di sejumlah negara hingga saat ini masih kuat.

“Tinggi (potensi resesi). Mungkin, Desember-Januari baru akan lebih terasa ke Indonesia. (Sektor) Yang banyak ekspor ke Eropa maupun China (paling terdampak),” kata Lionel.

Departemen Pertanian AS (USDA) dalam laporan terbaru menyebutkan, pembatasan akibat Covid-19, melambatnya pertumbuhan ekonomi, dan lonjakan harga komoditas global telah menekan tingkat permintaan minyak nabati di China.

Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, pasar ekspor minyak sawit Indonesia terbesar adalah ke China, India, Uni Eropa, Afrika, Pakistan, Timur Tengah, AS, dan Bangladesh.

Per September 2022, Kemenperin mencatat ekspor ke China sebanyak 4,9 juta ton, India 2,96 juta ton, dan Uni Eropa 3,45 juta ton.

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, resesi ekonomi dunia dimulai saat ini dan akan lebih parah tahun 2023. Yang akan menurunkan pendapatan setiap negara termasuk konsumen minyak nabati dunia.

“Konsumsi minyak nabati dunia dipengaruhi oleh tingkat pendapatan konsumen. Karena itu jika pendapatan konsumen turun pasti konsumsi minyak nabati juga turun. Jika USDA memperkirakan konsumsi minyak nabati masih naik 1% tahun 2022/2023 masih bagus dan itu disebabkan variable perubahan populasi penduduk dunia,” kata Tungkot kepada CNBC Indonesia, Rabu (14/9/2022).

Hal itu, lanjutnya, menunjukkan arah tren minnyak sawit dunia.

“Tren harga minyak sawit dunia mulai kembali menuju keseimbangan sebelum tahun 2021. Perkiraan rataan harga CPO dunia tahun 2023-2024 akan di bawah harga rataan tahun 2022. Artinya harga CPO dunia dalam tren menurun. Pertanda adanya pelemahan permintaan akibat resesi ekonomi dunia,” jelas Tungkot.

Harga CPO, lanjutnya, akan sulit menembus level MYR4.000 per ton tahun ini.

“Karena variabel fundamental demand-nya, yakni pendapatan konsumen sedang lumpuh akibat resesi ekonomi,” kata Tungkot.

Sementara itu, Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan hal senada. Saat ini, ujarnya, harga masih stagnan di kisaran US$1.100-1.200 per ton (sekitar MYR4.900-5.400 per ton).

Hal itu, katanya, akibat kondisi pasar yang lesu dan menunjukkan konsumsi yang tidak tumbuh signifikan.

“Utamanya ekonomi global sedang lesu,” kata Eddy.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga menambahkan, kekeringan di Eropa dan China akan berdampak pada pergerakan harga CPO dunia.

Dia memprediksi, CPO akan bergerak di rentang MYR4.200-4.300 per ton. Dengan memperhitungkan, pungutan ekspor sawit BPDPKS akan segera diberlakukan kembali. Ditambah bea keluar (BK) untuk ekspor CPO dan turunannya.

 

Sumber: Cnbcindonesia.com