Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) mendorong kampus, peneliti, institusi, pemerintah dan semua pihak untuk terus melakukan riset keberlanjutan di sektor perkelapasawitan. Hal itu penting dilakukan guna memperkaya pemahaman soal sawit.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gapki Togar Sitanggang mengatakan, semua pihak tidak boleh menggantungkan pembenaran atas pendapatnya sendiri. Apalagi, hanya bergantung pada satu buku atau riset tertentu saja.

“Perlu banyak riset dan referensi untuk memperkaya pemahaman mengenai sawit,” ujarnya pada peluncuran dan diskusi buku bertema “Privatisasi transmigrasi dan kemitraan plasma menopang industri sawit” yang diadakan The Institute for Ecosoc Rights bekerja sama dengan Norwegian Center for Human Rights di Jakarta, kemarin.

Ia mengungkapkan, pola transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit merupakan program pemerintah yang sukses di tahun I980-an. Kedua program ini mampu membuka keterisoliran daerah, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk sehingga berdampak pada pemekaran wilayah.

“Kalau dilihat historisnya, 4 dari 5 pemekaran di tingkat kabupaten di Indonesia merupakan wilayah transmigrasi yang penduduknya yang menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa sawit,” kata Togar.

la mengatakan, berbagai keterbatasan program transmigrasi serta perkebunan kelapasawithanya mengikuti kondisi saat itu sehingga ada regulasi tertinggal dengan kondisi lapangan. “Akibatnya, sejumlah pihak menilai terjadi diskriminasi,” tuturnya.

Togar mencontohkan, di tahun 1980-an saat pengembangan awal perusahaansawitselalu harus mampu menyeimbangkan antara luasan areal, kemampuan produksi Tandan Buah Segar (TBS) serta kapasitas pabrik. “Perusahaan sawit berinvestasi berdasarkan kemampuan mereka,” ungkapnya.

Ia mengatakan, saat itu perusahaan hanya menggantungkan pasokan dari petani plasma karena keterbatasan kapasitas pengolahan pabrik serta petani mandiri belum berkembang. “Kalaupun, akhirnya perusahaan sawit menerima pasokan petani mandiri harganya pasti berbeda,” tuturnya.

Sementara itu, harga mandiri dihitung berdasarkan harga saat ini. Jadi sampai kapan pun perdekatan terkait harga tidak pernah berakhir, Apalagi sawit merupakan komoditas yang harganya sangat dipengaruhi faktor global.

Ketua Umum Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (Maksi) Darmono Taniwiryono mengingatkan, banyak pihak yang tidak mengenal produksawittetapi berbicara negatif tentang sawit. “Akibatnya,opini negatif komoditas itu telah merasuk di pemikiran generasi muda Indonesia sejak dari rumah hingga pendidikan.” ujarnya.

Menurut dia, sudah waktunya pemerintah dan masyarakat mendorong peningkatan promosi positif terhadap minyak sawit. Apalagi, sumbangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) terhadap devisa negara mencapai rata-rata lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahun.

 

Sumber: Rakyat Merdeka