JAKARTA – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendukung kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan minyak goreng (migor) kemasan mulai 1 Januari 2020, termasuk pengaturan harga migor kemasan sederhana yang ditetapkan merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan intervensi pemerintah maka harga migor di pasar dalam negeri tetap masuk akal (reasonable).

 

Kebijakan mandatori migor dalam kemasan sempat akan diberlakukan pada Maret 2016, namun kemudian ditunda menjadi 1 April 2017. Kebijakan tersebut kembali diundur menjadi 1 Januari 2018, namun karena diperlukan masa transisi selama dua tahun maka mandatori baru berlaku resmi pada 1 Januari 2020. Artinya, per 1 Januari 2020, seluruh migor yang beredar di masyarakat sudah dalam kemasan yang terbagi dalam dua segmen, yakni kemasan bermerek (standing pouch) dan migor kemasan sederhana (pillow pack).

 

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan, pihaknya mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah tersebut, termasuk harga migor kemasan sederhana yang akan menjadi objek intervensi pemerintah. Nantinya, harga migor kemasan sederhana akan ditetapkan merata di seluruh wilayah Indonesia.

 

“Kami mendukung rencana pemerintah itu, menjaga agar ketika terjadi kenaikan harga, tetap reasonable. Tujuannya agar pengusaha jangan hanya fokus pada keuntungan, karena masih bisa melakukan subsidi silang. Kami menangkap apa yang dimaksud menteri perdagangan,” kata Sahat di Jakarta, pekan lalu.

 

Menurut Sahat, saat ini Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit yang notabene merupakan bahan baku migor, namun harga migor di dalam negeri tetap tinggi. Meskipun, harga minyak sawit di pasar global turun dan produksi di dalam negeri meningkat.

 

“Dengan kondisi tersebut, pemerintah memang diharapkan bisa berperan menurunkan harga migor di dalam negeri, misalnya saja dengan menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) untuk migor kemasan sederhana,” jelas Sahat.

 

Lebih jauh dia mengatakan, GIMNI juga akan bekerja sama dengan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag untuk membuat daftar distributor migor. Tujuannya untuk mencegah manipulasi penjualan.

 

“Siapa fokus di wilayah mana, lokasi di mana, kapasitas gudang, dan secara reguler harus melaporkan posisi stok dan harga jual. Misalnya, si A distributor untuk Papua yang berdomisili di Surabaya, mendapat jatah 2.000 ton. Supaya di Papua bisa harga sama, Rp 10.500 per liter misalnya, si A harus membeli Rp 9.000 per liter. Sedangkan, di Jawa bisa Rp 9.200 per liter. Si A dapat jatah, tapi ternyata malah dijual di Jawa. Itu manipulasi. Jadi, harus dijaga,” tutur Sahat.

 

Untuk mendukung kebijakan itu, kata Sahat, diperlukan sekitar 1.522 packing line di seluruh Indonesia dan saat ini telah terpasang sekitar 15-18%, yakni oleh beberapa produsen migor eksisting. Sesuai dengan peraturan menteri perdagangan (permendag), distributor juga akan melakukan pengemasan, daerah juga diharapkan melakukan pengemasan. Investasi untuk satu mesin berkisar Rp 600 juta dengan kapasitas 6.000 pieces ukuran 300-500 mililiter pillow pack.

 

“Kebutuhan mesin pengemasan (packing line) terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali yang membutuhkan 1.071 unit, disusul Pulau Sumatera dan sekitarnya yang perlu 249 unit packing line, serta Pulau Kalimantan dan Sulawesi 202 unit packing line,” jelas dia.

 

Sumber: Id.beritasatu.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *