JAKARTA, investor.id – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendukung penerapan tarif pungutan ekspor sawit yang  diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020.

Penyesuaian tarif pungutan yang tinggi pada produk hulu dan dikenakan lebih rendah pada produk hilir akan meningkatkan daya saing produk hilir bernilai tambah di pasar global dan pertumbuhan konsumsi domestik juga akan meningkat.

Ketua Umum GIMNI Bernard Riedo mengatakan pihaknya mendukung PMK Nomor 191/PMK.05/2020 yang mulai efektif berjalan pada 10 Desember 2020, dengan penyesuaian tarif pungutan ini akan mendukung terciptanya kebijakan hilir sawit.

Tujuan PMK 191/2020 cukup positif karena secara langsung akan mendukung berbagai program sawit seperti mandatori biodiesel, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), promosi, sarana dan prasarana dan riset.

“Penerapan aturan ini membutuhkan dukungan semua pihak dan kami menyambut baik aturan pemerintah karena berdampak positif bagi perekonomian,” ujar dia dalam Konferensi Pers GIMNI tentang Pungutan Ekspor di Jakarta, Kamis (10/12).

Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga
Ketua Umum GIMNI Sahat Sinaga

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menjelaskan proyeksi industri sawit pada tahun 2021 akan lebih baik dengan dukungan PMK 191//2020, diperkirakan ekspor dan konsumsi domestik sawit akan sama sama tumbuh.

Total produksi CPO dan CPKO pada 2021 diperkirakan 53,2 juta ton, jumlah produksi naik dibandingkan dengan tahun 2020 sebesar 51,6 juta ton.

Aturan pungutan ekspor dengan pola yang ada di PMK Nomor 191/2020 ini berdampak positif bagi industri sawit hulu dan hilir Indonesia secara keseluruhan. Konsumsi domestik akan meningkat ke level 35% pada tahun depan dengan dukungan B30.

Sehubungan dengan utilisasi refineri industri sawit yang tinggi maka production costnya akan menurun yang berakibat pola konsumsi sawit domestik dan ekspor tahun 2021 akan berubah total.

Pada tahun 2021, penggunaan sawit di pasar domestik semakin meningkat menjadi 19,5 juta ton yang terdiri dari penggunaan sawit untuk pangan sebesar 8,8 juta ton, pemakaian minyak untuk oleokimia dan non pangan sekitar 1,6 juta ton selanjutnya konsumsi biodiesel mencapai 9,2 juta ton.

Sementara itu konsumsi sawit di dalam negeri pada 2020 hanya mencapai 17,2 juta ton yang terdiri dari penggunaan untuk pangan berjumlah 8,3 juta ton, di sektor non pangan/oleokimia sebesar 1,5 juta ton dan pemakaian sawit untuk biodiesel sebesar 7,3 juta ton.

Di pasar ekspor, Indonesia tidak lagi dikenal sebagai pemain ekspor minyak sawit mentah atau CPO karena PMK 191.2020 mendorong ekspor minyak sawit di sektor hilir yang bernilai tambah tinggi hal ini sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo yang menginginkan ekspor sebaiknya dalam bentuk produk hilir dan bernilai tambah.

Ekspor produk hilir diperkirakan 80% dari total ekspor sawit dan turunannya pada 2021, capaian ini karena kebijakan pemerintah yang pro hilir.

Total ekspor sawit diproyeksikan mencapai 36,7 juta ton pada 2021 yang  terdiri dari ekspor produk hilir sebesar 29,295 juta ton (80%) dan produk minyak sawit mentah (CPO) berjumlah 7,405 juta ton (20%).

Pasar global tidak lagi mengenal Indonesia sebagai eksportir hulu, ekspor oleokimia naik pesat 5 juta ton pada tahun depan dulu ekspor oleokimia hanya 3 juta ton jadi ada perubahan permintaan.

Implementasi PMK 191/2020 bersifat jangka panjang untuk memperkuat daya saing industri sawit, pelaku sawit jangan berfikir jangka pendek untuk kepentingan masing- masing pasca diterbitkannya aturan tersebut.

Agar Indonesia bisa menjadi price leader dalam produk sawit, strategi jangka panjang itu diarahkan agar pasar sawit dalam negeri semakin kuat, kalau bisa konsumsi domestik mencapai 60% lalu pasar ekspor sebesar 40%.

Kemudian mempertahankan selisih harga minyak sawit Indonesia di atas US$ 140/ton lebih murah dibandingkan soft oils di pasar global, dengan menjalankan kedua pola tadi maka Indonesia akan menjadi price leader.

PMK 191/2020 merupakan tindak lanjut keputusan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan anggotanya Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri ESDM, Menteri BUMN, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertahanan Nasional.

Dengan berkumpulnya delapan menteri ini maka kebijakan yang ditetapkan sudah benar adanya untuk program jangka panjang bagi kekayaan sawit.

Besaran tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit termasuk CPO dan produk turunannya ditetapkan berdasarkan harga referensi dari Kementerian Perdagangan dengan cut off perhitungan pungutan tarif tersebut adalah tanggal Penerbitan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dimana pengenaan tarif baru tersebut  mulai berlaku tujuh hari setelah diundangkan tanggal 3 Desember 2020 dan mulai berlaku 10 Desember 2020.

 

Sumber: Investor.id