Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga meminta pemerintah melonggarkan bea keluar atau pungutan ekspor produk turunan minyak sawit mentah, khususnya minyak goreng. Hal itu dibutuhkan untuk menangkal tren penurunan volume maupun nilai ekspor CPO selama ini.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor CPO Januari—Mei 2018 mencapai US$8,37 miliar, atau turun dari periode yang sama tahun lalu yaitu US$9,92 miliar.

“Janjinya dulu setelah BPDPKS didirikan pada 2015, tarif pungutan ekspor sawit dan turunannya dievaluasi maksimal 2 tahun setelahnya,” kata Sahat Sinaga seperti dikutip bisnis.com pada 11 Juli 2018.

Pada awalnya para pengusaha sawit menolak besaran tarif pungutan ekspor tersebut. Tetapi, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berdalih dana pungutan itu akan digunakan untuk subsidi biodiesel.

Namun, di tengah kondisi ekspor sawit yang melempem, Sahat berharap pemerintah mengubah kebijakan pungutan ekspor minyak goreng. Dia meminta agar tarif ekspor minyak goreng kemasan diturunkan dari US$20/ton menjadi US$2/ton.

Hal itu dilakukan agar produk turunan CPO tersebut bisa bersaing dengan produk buatan Malaysia yang dibebaskan dari bea ekspor. Tak hanya itu, insentif tersebut diyakini mampu mendorong minat pebisnis untuk mengekspor produk minyak goring dalam kemasan.

Dia juga meminta pungutan untuk minyak goreng curah direvisi dari US$30/ton menjadi US$20/ton. Tujuannya untuk memberikan minat yang lebih besar kepada eksportir minyak goreng curah, sekaligus membantu mengurangi kelebihan stok dalam negeri.

Sumber: Globalplanet.news