Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) sepakat pemberlakuan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana.

“Saya kira HET itu bagus ada tolak ukur harga sebenarnya berapa,” ujar Sahat Sinaga Direktur Eksekutif GIMNI, Senin (11/9).

Menurut Sahat, sebelum adanya HET minyak goreng, pedagang dapat mengendalikan harga jual. Di pasar tradisional harga bisa naik lebih dari 30%.

Sebelumnya, kata Sahat, pihaknya telah melakukan pemantauan harga bersama dengan Kementerian perdagangan. Pantauan tersebut dibagi dalam sembilan zona untuk melihat harga penjualan minyak goreng. Zona pertama yaitu Sumatra dan zona sembilan adalah Maluku dan Papua.

Berdasarkan pantauan tersebut,  pedagang dinilai mengambil keuntungan yang besar. “Kita ini tidak ada aturannya untuk pedagang,” terang Sahat.

Sahat mencontohkan di DKI Jakarta, harga minyak dari pabrik dijual seharga Rp 8.548 per liter. Kemudian pedagang menjual minyak tersebut seharga Rp 11.600 per liter. Harga tersebut dinilai terlalu besar.

Ia juga menyarankan pengaturan harga selain HET, yang bisa berjalan efektif. Menurutnya, pemerintah perlu membuat aturan untuk perpindahan barang hanya dibatasi kenaikan 3%. Sahat beranggapan dengan hal tersebut pemerintah dapat menekan harga.

Sebelumnya, terdapat perjanjian antara Kementerian Perdagangan (Kemdag), distributor, dan ritel modern untuk menentukan HET tiga komoditas. Minyak goreng kemasan sederhana dipatok Rp 11.000 per liter, gula seharga Rp 12.500 per kilogram (kg) dan daging sapi beku yang dipatok Rp 80.000 per kg.

Perjanjian tersebut akan berakhir pada September. Namun, Sahat bilang, belum ada keputusan dari Kemdag untuk memperpanjang perjanjian tersebut.

 

Sumber: Kontan.co.id