
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan kepada pemerintah untuk menerapkan pungutan ekspor (PE) sebesar US$ 50 per ton untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan US$ 5 per ton untuk produk hilir sawit terutama minyak goreng kemasan dan biodiesel. Dengan besaran tarif PE yang demikian, bukan hanya harga CPO yang akan meningkat tapi volume ekspor minyak sawit nasional juga akan melonjak signifikan. Saat ini, pemerintah masih mengenolkan PE untuk CPO dan produk hilir sawit, kebijakan tersebut berlaku hingga 31 Mei 2019.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menjelaskan, sudah tiga bulan ini harga CPO di pasar internasional tidak mengalami pergerakan, petani juga tidak mendapatkan harga yang lebih baik, meskipun pemerintah telah mengenolkan PE untuk CPO dan produk hilir sawit. Ekspor minyak sawit pada Februari, Maret, dan April juga turun, dan kemungkinan berlanjut hingga Mei. “Untuk CPO memang volume ekspornya naik, tapi yang hilir anjlok. Kalau pemerintah mau mendorong harga CPO dan ekspor tetap naik maka kenakan levy (pungutan ekspor) dengan formula US$ 50 per ton untuk CPO dan US$ 5 per ton untuk minyak goreng kemasan dan biodiesel,” kata Sahat Sinaga di Jakarta, kemarin.
Pemerintah, lanjut Sahat, seharusnya tetap pada jalur yang telah dicanangkan sejak 2012, yakni hilirisasi industri agro berbasis minyak sawit yang ditandai dengan pengenaan bea keluar (BK) atas ekspor CPO. Dengan formula pungutan ekspor yang tidak ideal bagi industri hilir, Indonesia justru menuju kondisi hulunisasi. Indonesia semakin banyak memasok bahan baku ke industri hilir di luar negeri. “Karena itu, sebaiknya pungutan ekspor BPDPKS atas CPO kembali dikenakan pada tarif semula dan merevisi tarif atas produk hilir,” ungkap dia. Sebelum kebijakan pengenolan PE untuk CPO dan produk hilir sawit diberlakukan, PE untuk CPO ditetapkan US$ 50 per ton dan untuk produk turunan (hilir) US$ 20-30 per ton.
Kebijakan pemerintah yang mengenolkan PE untuk CPO dan produk hilir sawit pertama kali terbit pada Desember 2018. Kemudian pemerintah mengeluarkan aturan dan formula baru pada Maret 2019 melalui PMK No 23/PMK.05/2019 yang memutuskan bahwa pemerintah tidak mengenakan alias tetap mengenolkan PE CPO dan produk turunannya hingga 31 Mei 2019. Pemerintah baru akan menerapkan PE pada CPO mulai 1 Juni 2019 sebesar US$ 25 per ton apabila harga CPO internasional berada di antara US$ 570-619 per ton dan US$ 50 per ton apabila harga naik melewati US$ 619 per ton.
Sahat menjelaskan, pemangkasan PE untuk produk hilir sawit juga diyakini mampu mendongkrak utilisasi industri hilir berbasis minyak sawit di dalam negeri yang saat ini terus anjlok, yakni dari sebelumnya berkisar 60-70% dan kini terpangkas menjadi 15-20%. Kondisi itu kontras dengan yang dialami industri hilir minyak sawit di Malaysia. “Industri di Malaysia bahkan saat ini sudah overtime hingga 20%. Industri hilir kita saat ini hanya bisa menikmati pasar kalau sudah mentok dengan Malaysia. Apalagi, Malaysia saat ini menikmati preferensi tarif 5% saat masuk ke India, ditambah mereka sepertinya akan mempertahankan tarif nol, sehingga semakin menarik untuk mengekspor CPO dari Malaysia,” kata Sahat.
Belum lagi, lanjut dia, dari aspek ongkos transportasi, Malaysia menikmati daya saing hingga 15-20% karena dukungan infrastruktur yang efektif dan efisien, baik di pelabuhan maupun angkutan. Di Indonesia, perbaikan infrastruktur memang sudah mulai kelihatan baik, namun di pelabuhan masih belum berubah. “Demurrage cost kita paling tinggi di dunia. Kenapa? Karena santai, nggak ada tanggung jawab, tapi mau kejar profit. Ditambah lagi, suku bunga yang berlaku di Malaysia lebih rendah dari Indonesia. Silakan dibandingkan pakai surveyor independen. Dari hasilnya kita bisa belajar, kalau memang kita mau bisa bersaing di pasar global,” kata Sahat Sinaga.
Penurunan utilisasi tersebut, kata Sahat, terus terjadi sejak pemberlakuan PE yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDPKS). Pengenaan tarif yang tidak ideal bagi produk hilir menyebabkan iklim usaha di segmen tersebut berkurang. Karena itu, GIMNI berulang kali meminta pemerintah mengkaji kembali besaran tarif pungutan ekspor BPDPKS yang dikenakan atas produk hilir. “Kondisi itu diperparah dengan pengenolan sementara PE atas CPO dan turunannya, menyusul anjloknya harga CPO. Bahkan, pemerintah kemudian mengenakan formula baru,” jelas Sahat.
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, kapasitas terpasang produsen biodiesel di Indonesia bakal bertambah sekitar 900 ribu ton dari saat ini berkisar 12 juta ton per tahun. “Ada yang sudah mulai melakukan penambahan kapasitas, ada yang mau rencana. Setidaknya, akan ada satu pemain baru dengan kapasitas 300 ribu ton, lalu akan ada dua produsen yang sudah ada, menambah kapasitas masing-masing 300 ribu ton. Artinya, dengan berlakunya program biodiesel 30% (B30) nanti di semua segmen, kapasitas kita tetap akan bisa memenuhi,” kata Paulus.
Tembus Pasar Baru
Lebih jauh Sahat Sinaga mengatakan, usulan GIMNI agar pemerintah menerapkan PE sebesar US$ 50 per ton untuk CPO dan US$ 5 per ton untuk produk hilir sawit terutama minyak goreng kemasan dan biodiesel bukan didasarkan pada teori semata. Kebijakan tersebut diperlukan agar Indonesia juga bisa membidik pasar ekspor baru seiring makin ketatnya pasar Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS). “Ini bukan sekadar teori. Kami yakin begitu pemerintah mau dan mengumumkan tarif PE CPO kembali ke formula awal maka ekspor dan harga minyak sawit akan naik. Apalagi, sekarang pasar di UE dan AS semakin ketat,” kata dia.
Dia menjelaskan, bagaimanapun saat ini minat pasar global atas biodiesel tetap tinggi. Untuk menembus pasar-pasar baru maka salah satu upaya yang bisa ditempuh Pemerintah Indonesia adalah dengan memangkas tarif PE BPDPKS atas biodiesiel. “Juga, atas minyak goreng dalam kemasan, ini supaya kita bisa menembus pasar Afrika Timur dengan populasi mencapai 380 juta orang. Karena di sana tidak ada tangki di pelabuhan, jadi kita hanya bisa ekspor dalam kemasan,” kata Sahat.
Apalagi, lanjut Sahat, industri hilir {refinery) sebenarnya lebih memilih memacu kapasitasnya di dalam negeri demi menghasilkan produk turunan yang beragam, mulai dari pangan, oleokimia, hingga energi. GIMNI meyakini pada 2025 sekitar 55-60% produk sawit nasional akan memenuhi kebutuhan domestik. “Dengan 20% di antaranya adalah untuk segmen pangan dan oleokimia, sedangkan sisanya untuk energi. Jadi, tidak perlu takut dengan tekanan di luar,” kata Sahat.
Sumber: Investor Daily Indonesia