JAKARTA, KOMPAS.com – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) memberikan usulan kepada pemerintah terkait dengan aturan tata niaga minyak jelantah.
Usulan ini dinilai penting demi mencegah penggunaan produk minyak jelantah untuk bahan baku pangan karena berbahaya bagi kesehatan.
“Kami berharap adanya regulasi khusus dalam pengaturan minyak jelantah agar tidak kembali dikonsumsi masyarakat terutama untuk makanan. Pemanfaatan minyak jelantah perlu diawasi dan diatur, kami harapkan bisa kerja sama dengan pemerintah melakukan trobosan terkait kebijakan dan pengaturannya,” kata Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Bernard Riedo secara virtual, Rabu (23/6/2021).
Menurut Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga, ada beberapa usulan yang perlu dilakukan pemeritah untuk mengurangi konsumsi minyak jelantah sebagai bahan pangan di Indonesia, yakni dengan mendeklarasikan bahwa minyak jelantah merupakan limbah B3.
Kemudian, dia juga meminta pengumpul dan pengolah minyak jelantah memiliki legalitas yang jelas, terdaftar, dan berizin khusus.
Hal ini dianggap penting agar pergerakan minyak jelantah bisa termonitor dengan baik.
“Persoalan minyak jelantah ini harus ada perubahan, pemerintah harus declare minyak jelantah sebagai limbah B3, pengumpul dan pengolahnya juga harus jelas dan berizin khusus. Kemudian, pemerintah harus konsistensi untuk melarang penjualan minyak curah di tahun 2022,” tegas dia.
Di sisi lain, Sahat menilai minyak juga punya pasar tersendiri di luar negeri, khususnya Eropa dengan harga jual yang cukup mahal.
Hal ini karena pemerintah Eropa memberikan subsidi pengolahan biodiesel.
“Eropa membeli dengan harga tinggi karena mereka ada subsidi, dan bila industri fuel (bahan bakar) menggunakan jelantah, maka mereka mendapatkan insentif, jadi harganya bisa tinggi,” kata Sahat.
Mengingat konsumsi domestik akan minyak jelantah atau hasil pemurniannya yang berakibat pada kondisi kesehatan, Sahat mengimbau agar minyak jelantah diekspor.
Namun, tentunya perlu regulasi dan sistem yang benar untuk mengatur hal tersebut.
“Ekspor minyak jelantah perlu menjadi perhatian kita, dari pengamatan kita minyak jelantah (HS15180060) tidak boleh dimakan, dan memiliki potensi besar untuk ekspor. Kalau harganya bisa tinggi, lebih baik di ekspor saja, daripada dipakai untuk domestic,” ungkap dia.
Sahat mengatakan, di Indonesia pengolahan biodiesel atau biofuel tidak ada subsidinya.
Di sisi lain, pasar dalam negeri juga tidak ada bahan baku untuk Fame atau bahan bakar alternatif pada mesin diesel yang terbarukan.
Sumber: Kompas.com