InfoSAWIT, JAKARTA – Kebijakan Parlemen Uni Eropa yang tertuang dalam Renewable Energy Directive II (RED II) yang resmi diberkalukan pada tahun 2019 lalu dianggap sebagai langkah politis yang mendiskriminasi sawit Indonesia. Pasalnya didalam RED II sawit Indonesia dinyatakan tidak dapat memenuhi standart EU karena menyebabkan deforestasi dan high risk  Indirect Land Use Change (ILUC) atau beresiko tinggi atas perubahan lahan tidak langsung.

Berlakunya RED II jelas mengganjal ekspor biofuel berbahan sawit dari Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Indonesia  telah melayangkan gugatan kepada  WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) pada Desember 2019 lalu.

Duta Besar/ Wakil Tetap RI  untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lain di Jenewa, Dubes Hasan Kleib, optimistis dapat memenangkan gugatan tersebut. “Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengangkat isu RED II sebagai isu specific trade concern pada pertemuan-pertemuan di WTO, sayangnya ketika diintervensi  EU selalu menyatakan kebijakan RED II sudah sesuai aturan WTO,” katanya dalam seminar online yang dihadiri InfoSAWIT, Rabu (15/7/2020).

Tidak hanya itu, Indonesia juga menggunggat Uni Eropa atas kebijakannya yang dikenal sebagai Commission Delegated Regulation (DR) dan French fuel tax. Ketiga kebijakan ini merupakan bentuk diskriminasi Uni Eropa terhadap Indonesia khususnya bagi industri kelapa sawit.  Perundingan antara Uni Eropa dan Indonesia yang tidak membuahkan hasil menggulirkan perundingan ini pada pengajuan panel yang diharapkan dapat mendorong Indonesia untuk merevisi kebijakan yang mendiskriminasi industri kelapa sawit.

Hasan menilai, Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomai sawit. Perlu informasi-informasi positif yang dikembangkan terkait dampak positif langsung maupun tidak langsung sawit bagi sosial, perekonomian maupun lingkungan. Selain itu penguatan data perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat dalam diplomasi melawan diskriminasi Uni Eropa tersebut. (T2)

 

Sumber: Infosawit.com