Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar global pada akhir tahun ini diperkirakan bisa menyentuh US$ 540 per ton. Hanya saja, level harga itu akan tercapai apabila stok minyak nabati di negara lain, seperti soybean dan rapeseed, . mulai berkurang. Saat ini, harga komoditas perkebunan tersebut bergerak di level US$ 534 per ton.
Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang memperkirakan, harga CPO pada akhir tahun ini bisa menyentuh level US$ 540 per ton (FOB). Harapannya, dalam 1-2 bulan ke depan, harga komoditas tersebut bisa bergerak di level US$ 525 per ton.
“Akhir tahun ini, mudah-mudahan bisa berada di US$ 540 per ton. Tapi dengan syarat stok soybean atau minyak nabati lain di luar negeri mulai berkurang. Kalau stok berkurang, harga CPO akan bisa bergerak,” kata dia usai diskusi tentang Kampanye Hitam Industri Sawit Di mana Posisi Negara di Jakarta, kemarin.
Togar menjelaskan, mulai September 2018, harga CPO sudah tidak jatuh. Harga COP FOB bergerak US$ 510-515, lalu bergerak ke US$ 520. kemudan ke US$ 510-515. “Mungkin karena belum ada gebrakan demand baru, juga bisa karena masih tingginya stok soybean dan rapeseed. Kita tidak melihat ada potensi harga akan lebih turun dari level US$ 500 per ton,” kata Togar.
Sejumlah faktor berperan positif terhadap pergerakan harga CPO global menjelang akhir 2018. Salah satunya, membaiknya ekspor CPO ke India dengan rata-rata volume 600 ribu ton per bulan. Selain itu, penyerapan biodiesel program subsidi (PSO) dan bukan PSO pada Oktober 2018 akan lebih baik dari September 2018. “Pengiriman biodiesel Oktober sudah semakin lancar. Kita sudah bisa mengatur jadwalnya karena sudah rutin. Jadi, bakal lebih baik dari September. Artinya, ada permintaan yang bisa membawa arah stok kita ke level yang lebih baik,” ungkap dia.
Togar mengakui, program biodiesel belum bisa mengangkat harga CPO secara signifikan. Di sisi lain, stok kedelai (soybean) di Amerika Serikat (AS) saat ini berlebih salah satunya akibat perang dagang negara itu dengan Tiongkok. “Pengaruh faktor eksternalnya relatif besar. Tapi setidaknya harga tidak akan lebih jatuh lagi,” kata Togar.
Sementara itu, per 27 September 2018, pemerintah menetapkan harga referensi produk CPO untuk penetapan Bea Keluar (BK) periode Oktober 2018 adalah US$ 602.34 per ton. Harga referensi tersebut melemah US$ 1,60 atau 0,27% dari periode September 2018 yang sebesar US$ 603,94 per ton. Sedangkan harga CPO di Bursa Malaysia per 17 Oktober 2018 tercatat sebesar RM 2.261 per ton, naik dari posisi 16 Oktober 2018 yang sebesar RM 2.244 per ton.
Secara terpisah. Wakil Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga memperkirakan, pada 2019, ekspor minyak sawit dan turunannya tumbuh 4% atau Iebih rendah dari proyeksi tahunan yang sekitar 7,40%. Perlambatan pertumbuhan itu salah satunya dipicu oleh perekonomian global yang masih belum kondusif. Di sisi lain, Indonesia bakal menerapkan B30.
Sahat menjelaskan, pada kuartal IV-2018 ekspor minyak sawit masih akan tumbuh sekitar 3 juta ton per bulan. Namun demikian, pada 2019 Indonesia tidak akan bisa lagi memenuhi kebutuhan ekspor, sekalipun hanay 2 juta ton per bulan.
“Itu karena kita menerapkan penuh wajib program B20 dan juga akan memberlakukan B30. Jadi, negara yang ribet dan suka menyusahkan CPO Indonesia, biarin saja. Tidak usah kirim ke sana. Sebaiknya kita fokus ekspor ke negara yang memang mau menggunakan CPO kita,” kata Sahat Sinaga.
Indonesia, ujar Sahat, tidak perlu lagi menghabiskan tenaga dan biaya untuk menghadapi penolakan dan kampanye hitam atas minyak sawit CPO nasional cukup difokuskan pada penggunaan di pasar domestik. “Ngapain kita didikte? Kalau kita bikin standar wine yang masuk ke sini, mereka mau nggak? Kalau Indonesia telah menerapkan penggunaan CPO untuk bioavtur pada 2020, pasokan ke pasar global akan terpangkas hingga 16 juta ton. Cukup main di pasar domestik,” ujar dia.
Sumber: Investor Daily Indonesia