JAKARTA – Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar internasional diperkirakan stabil tinggi di atas US$ 1.000 per ton hingga akhir tahun ini. Selain dipengaruhi harga minyak kedelai, harga CPO yang stabil tinggi tersebut terjadi karena turunnya suplai dari Malaysia dan besarnya penyerapan Indonesia akan minyak sawit seiring bergairahnya industri hilir nasional.
Berdasarkan data Bank Du-nia, rata-rata harga CPO dunia pada kuartal 1-2021 mencapai US$ 1.014 per ton, naik 10,46% dari rata-rata kuartal IV-2020 yang sebesar US$ 918 per ton atau naik 39,86% dari rata-rata kuartal 1-2020 yang sebesar US$ 725 per ton. Bank Dunia memprediksikan rata-rata harga CPO sepanjang 2021 mencapai US$ 975 per ton atau naik 29,65% dari rata-rata sepanjang 2020 sebesar US$752 per ton.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang juga Pit Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan, harga CPO akan terus mengalami kenaikan, harga komoditas perkebunan itu akan tetap stabil tinggi. “Kenaikan harga CPO di pasar global akan berlangsung dalam jangka panjang. Saya optimistis harga CPO tahun ini berada di posisi atas dan bisa booming lagi seperti 2011,” ujar dia ketika dihubungi Investor Daily di Jakarta, pekan lalu.
Kenaikan harga CPO dipengaruhi faktor eksternal, di antaranya harga minyak kedelai (soya bean oil/soya oil). Kompetitor CPO paling dominan di pasar global saat ini hanya itu, selama pandemi Covid-19 proses penanaman kedelai tidak optimal sehingga harganya turut mempengaruhi harga CPO. Selain itu, produsen CPO terbesar selain Indonesia yaitu Malaysia tengah kesulitan menghadapi masa panen, buruh banyak yang dikontrak dalam jangka pendek ditambah sebagian besar di antaranya banyak yang mengundurkan diri.
Untuk mengejar masa panen, kata Sahat, Malaysia sampai berusaha mencari tenaga kerja dari luar termasuk dari Indonesia. Estimasi produksi CPO Malaysia tahun ini hanya mencapai 18,20 juta ton dari yang biasanya 19,40 juta ton. “Produksi CPO Malaysia mengalami penurunan. Kondisi ini mempengaruhi harga CPO di pasar global tetap di posisi atas,” ungkap Sahat Sinaga.
Selain faktor eksternal, kenaikan harga CPO juga dipengaruhi kondisi dan situasi dalam negeri yakni PMK No 191/ PMK.05/2020 (tarif pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Dengan
PMK tersebut, industri hilir sawit nasional tumbuh positif sehingga daya saing produk hilir di pasar ekspor terus membaik. “Regulasi ini mendukung kebijakan hilirisasi sawit,” ujar Sahat.
Karena itu, GIMNI/DMSI meminta pemerintah untuk tetap mempertahankan PMK No 191/PMK.05/2020 tersebut karena bermanfaat untuk daya saing industri hilir sawit. Pemerintah hendaknya tidak terpengaruh usulan dari pihak-pihak tertentu, pemerintah harus tetap berkomitmen menjalankan PMK tersebut karena pengusaha hilir sawit telah merasakan dampaknya. “Aturan tersebut dikeluarkan pada waktu yang pas di saat harga CPO terus membaik, right policy in right time,” papar dia.
Menurut Sahat, sejak penerbitan PMK No 191/PMK.05/2020, ekspor Indonesia tidak hanya produk minyak mentah (CPO) tapi semakin didominasi produk sawit yang sudah diproses atau diolah sehingga nilai tambah yang diperoleh Indonesia semakin besar. Karena Indonesia lebih banyak mengekspor produk olahan CPO maka harga CPO di pasar global tetap stabil dan belum menunjukkan akan terjadinya penurunan. “Harga tandan buah segar (TBS) yang dinikmati petani juga relatif tinggi,” kata dia. Ekspor minyak sawit RI tahun ini diperkirakan 38,50 juta ton senilai US$ 31,20 miliar.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, harga rata-rata minyak sawit global pada Maret 2021 sebesar US$ 1.116 per ton (CIF Rotterdam) atau lebih tinggi US$ 21 (1,90%) dari Februari 2021. Kenaikan harga disebabkan banyaknya perubahan prediksi produksi oilseeds dan kenaikan produksi biodiesel dunia. Ketidakpastian tanam dan produksi oilseeds menyebabkan permintaan minyak sawit meningkat. “Indonesia mendapatkan keuntungan dari situasi ini karena produksinya tidak terganggu Covid-19 sehingga ekspor naik tajam,” ujar dia.
Kontrak Berjangka
Sementara itu, Hasan Zein Mahmud, mantan Direktur Utama PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Direktur Utama PT Bursa Berjangka Jakarta (BJJ), mengatakan, harga CPO sudah naik 10 bulan berturut-turut dan memecahkan rekor harga tertinggi selama 10 tahun. Komoditas CPO hingga kini juga masih merupakan salah satu penopang utama ekspor dan ekonomi Indonesia. Dalam salah satu ulasannya, Hasan Zein mengatakan, kenaikan harga CPO diduga belum sepenuhnya dinikmati produsen komoditas tersebut
Dalam hipotesa Hasan Zein Mahmud, karena harga CPO cukup lama terjerambab maka ketika harga komoditas tersebut naik hingga di atas RM 3.000 per ton maka banyak produsen yang menjual CPO-nya dengan cara forward, penyerahan kemudian dengan harga ditetapkan di depan. “Akibatnya, kenaikan harga yang tajam tak lagi bisa mereka (produsen CPO) nikmati. Kecuali emiten yang masih ada sisa produksi di atas kontrak forward, sehingga bisa dijual di pasar spot. Sayangnya, saya tak memperoleh info tentang perusahaan mana saja yang melakukan penjualan forward, dan persentasenya,” kata Hasan Zein.
Karena itu, kata Hasan Zein, apabila hipotesa tersebut benar bahwa mayoritas produksi dijual secara forward maka sudah waktunya para produsen dan eksportir CPO untuk menggunakan kontrak berjangka (tradable futures) dan bukan forward. Kontrak berjangka, walau tetap berpotensi rugi bila tren bergerak ke arah berlawanan dari prediksi, bisa diakhiri setiap saat melalui mekanisme pasar.
Sumber: Investor Daily Indonesia