Pemerintah punya target yang signifikan tentang energi baru dan terbarukan. Pada 2025 nanti, ditargetkan komposisi Energi Terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen, yang artinya energi fosil yang kita gunakan hanya tinggal 77 persen saja. Berbagai terobosan pun dilakukan, mulai dari pembangunan megaproyek Pembangkit Listrik Tenaga Bayu, energi panas bumi, arus laut, sampai kebijakan Mandatori B20 yang pada 1 September lalu diberlakukan. Sampai sejauh ini, Mandatori B20 yang artinya adalah pencampuran sebanyak 20 persen energi nabati pada setiap 1 liter minyak solar fosil berjalan lancar.

Tak banyak keluhan dari konsumen, misalnya gangguan pada mesin atau tingkat konsumsi minyak. Tampaknya target 20 persen energi nabati pada setiap 1 liter solar ini memang dibutuhkan. Hal ini didorong faktor eksternal yang pahit, yaitu adanya hambatan perdagangan minyak sawit mentah (CPO) Indonesia oleh Uni Eropa. Uni Eropa membuat regulasi baru tentang energi, dimana tingkat polusi dan kerusakan lingkungan dari minyak sawit dianggap setara dengan minyak fosil.

Pada masa datang, mereka hanya mau menggunakan energi nabati generasi kedua, misalnya limbah minyak sawit mentah. Selain hambatan perdagangan Eropa, ada juga faktor eksternal berupa perang dagang AS-Tiongkok serta kenaikan suku bunga The Fed yang mendongkrak nilai tukar dolar AS terhadap rupiah sehingga pemerintah harus mensubstitusi BBM impor dengan produk dalam negeri. Meskipun kedua faktor eksternal ini pahit memukul industri CPO kita, tetapi mampu melecut pemerintah untuk lebih keras mencari pasar baru dan memberdayakan pasar dalam negeri. Dan, yang paling penting dari lecutan itu adalah progres nyata mencapai target 23%Energi Terbarukan pada 2025 nanti.

Pemerintah bukan hanya menata sisi hilir energi nabati. Di sisi hulu, bahkan di jantung perekonomian rakyat, pemerintah memasang program peremajaan kelapa sawit rakyat. Kelapa sawit rakyat yang pada dekade 80-an berjaya kini sudah menua. Bukan hanya sawitnya, pemerintah juga sepertinya bisa membaca bahwa pejuang-pejuang kelapa sawit rakyat juga kini mulai tidak produktif lagi karena menua. Mereka memang melahirkan generasi petani sawit kedua dan ketiga, tetapi ketangguhannya tampaknya menurun dibanding bapak-bapak mereka.

Jika sisi hulu sawit tidak ditata, maka ke depan akan terjadi kelangkaan pasokan dan sisi hilir mengalami pembengkakan permintaan akibat kebijakan bauran energi tersebut. Lebih Kuat ke Sisi Hulu

Namun, kebijakan pemerintah di sisi hulu ini tidak semudah di sisi hilir. Sebab, kebijakan tersebut melibatkan jutaan petani dengan aneka macam kompleksitasnya, mulai dari soal lahan, bahan tani, subsidi, sampai sumber daya petaninya sendiri. Kalau di sisi hilir, hampir semua kendali dan pengelolaan ada di tangan pemerintah. Sedangkan di sisi hulu, ada aspek sosiopsiko ekonomi dimana petani muda kelapa sawit merasa era sawit sudah usai, konversi lahan sawit telah demikian banyak, harga tandan buah segar (TBS) tidak juga membaik, dan membuka lahan hutan baru sungguh bukan pilihan saat ini.

Semua ini membuat petani merasa sulit untuk sepenuhnya mendukung program peremajaan sawit rakyat pemerintah.

Artinya, jika pemerintah jeli, sebenarnya masalah sawit rakyat justru lebih berat di sisi hulu pasokan dibanding sisi hilir pasar Eropa misalnya. Kalkulasinya seperti ini Di sisi hilir domestik, pemerintah relatif mudah meningkatkan campuran energi nabati dari awalnya 5 %, lalu 10 %, dan kini 20% pada minyak solar. Di sisi lain, situasi ekonomi global dan regulasi-regulasi misalnya Eropa tampaknya semakin menghambat, sehingga pemerintah bukan tidak mungkin menambah campuran menjadi di atas 20 persen dalam beberapa waktu ke depan demi menyerap produksi. Dan, ini akan dipasok dari sawit rakyat salah satunya, yang kondisinya produksinya mulai menurun. Hilirisasi Rakyat

Hilirisasi memiliki makna melakukan pengolahan hasil sumber daya alam melalui suatu industri manufaktur atas barang mentah dari alam tersebut agar menjadi barang jadi atau setengah jadi sehingga nilai keuntungannya bertambah. Dalam rangka mengurus sisi hulu sawit rakyat dan apalagi di tengah keseriusan pemerintah melakukan hilirisasi pada hampir semua komoditas alam selama ini, tampaknya sawit rakyat belum tersentuh upaya hilirisasi itu. Rakyat masih benar-benar menjual bahan mentah total, berupa tandan buah segar (TBS) melulu. Padahal, jika ingin meningkatkan produksi dan kualitas produk, dibutuhkan lahan yang tidak sedikit, yang hal ini hampir mustahil belakangan ini.

Jadi, masa depan sawit rakyat hampir bukan lagi pada kuantitas produksinya, tetapi utamanya pada hilirisasi oleh petani itu sendiri. Jika pemerintah lebih konsentrasi pada peremajaan dan sisi pasar, situasi sawit rakyat bisa antiklimaks ketika produksi yang melimpah itu ternyata digoyang dari sisi harga pasar seperti sekarang ini. Akan berbeda halnya jika rakyat sudah lebih maju mengolah sawitnya menjadi bahan jadi, atau setidaknya setengah jadi, mereka bisa lebih mandiri mencari pasarnya sendiri. Pemerintah hanya tinggal menyiapkan regulasi-regulasi yang mampu mengendalikan perdagangan rakyat atas bioenergi produksi mereka.

Mengolah bahan mentah total (TBS) menjadi bahan jadi siap pakai oleh petani rakyat rasanya terlalu ambius saat ini. Mentega, minyak goreng, atau diversifikasi lainnya saat ini masih terlalu jauh. Oleh karena itu, pabrik kelapa sawit, demi mendukung hilirisasi sawit rakyat, perlu diwajibkan menerima produk olahan sawit setengah jadi dari rakyat. Kalau petani sawit menjual misalnya dalam bentuk yang sudah diolah kepada pabrik, mereka harus menerima dengan tentunya harga yang lebih tinggi. Tanpa kebijakan ini, sulit sekali pemerintah menaikan nilai tambah sawit rakyat tersebut.

Memang menjadi pertanyaan mengapa sekitar 4 dekade era sawit rakyat terus di-manjakan dengan harga tinggi, tetapi melupakan hilirisasi. Rakyat hanya menjual tandan buah segar (TBS) ke pabrik kelapa sawit, lalu perusahaan mengolahnya menjadi bahan yang juga tidak sepenuhnya jadi untuk diekspor ke luar negeri. Lalu berapa nilai tambahnya dan berapa pula devisa hasil ekspor yang masuk ke Indonesia bila model ini terus dipertahankan?

Oleh karena itu, pemerintah jangan tanggung-tanggung menata sisi hulu sawit rakyat ini. Harus ada langkah nyata menghilirisasikan sawit rakyat ini. Hilirisasi adalah mutlak harus terjadi pada petani sawit rakyat. Tujuannya banyak, salah satunya untuk pemerataan perekonomian antara desa dan kota, serta untuk menjaga deforestasi, lingkungan, dan konflik agraria. Bagaimana pun, sawit dan juga karet adalah penyedot besar yang dimiliki desa-desa agar aliran uang nasional lebih besar lagi ke desa-desa.

Dalam dunia industri dan perdagangan, dikenal rumus yang tak terbantahkan. Bahwa sebenarnya memproduksi barang jasa serta modal itu relatif mudah. Yang tersulit adalah mencari pasar pembelinya siapa. Kalau hilirisasi sawit rakyat terjadi dan kebijakan bioenergi pemerintah semakin progresif, masalah pasar sudah lebih teratasi tentunya.

Jelas bahwa kebijakan peremajaan sawit rakyat juga punya implikasi positif pada hilirisasi. Kita tidak mengatakan peremajaan itu sebagai kerja yang tidak cerdas. Bagaimana mungkin melakukan hilirisasi jika bahan mentahnya saja tidak ada lagi. Masalahnya, peremajaan sawit rakyat terasa seolah-olah hanya untuk memasok bahan baku mentah untuk industri besar saja dan hanya untuk menjaga pola kebiasaan ekonomi rakyat saja. Tak ada statemen resmi atau peta jalan bahwa peremajaan dalam rangka untuk menambah pendapatan rakyat dari jalur yang lebih modern berupa hilirisasi. Pengetahuan Teknologi Pengolahan

Petani rakyat pun jangan tinggal diam. Jangan tidur setelah TBS mereka ditimbang oleh agen, diangkut, dan jadi uang. Bisa dibayangkan bahwa kondisi pendapatan dan pengeluaran petani sawit semakin berbanding terbalik secara waktu. Dahulu, di era 80-an,sawit mereka masih muda dan produktif, anak masih kecil-kecil, dan hutan masih banyak. Sekarang tidak lagi, tetapi sudah terbalik. Petani pejuangnya sudah menua, anak-anak sudah punya anak pula, dan luas kebun tidak bertambah, sedangkan kebutuhan semakin membesar.

Maka, mereka harus masuk dari sisi pengetahuan tentang teknologi sederhana pengolahan kelapa sawit. Juga, mereka harus mencari pasar dengan memanfaatkan berbagai flatform komunikasi seperti media sosial untuk mencari pasar. Lalu, mereka harus patuh pada regulasi-regulasi dari pemerintah yang biasanya langsung hadir ketika rakyat sudah lebih mandiri dalam pengolahan dan pasar.

 

Sumber: Analisa