Dalam lima tahun terakhir, ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa loyo gara-gara kebijakan RED Hyang dikeluarkan \’Benua Biru\’ tersebut. Lewat WTO, diharapkan muncul jalan keluar yang menyenangkan semua pihak.

PEMERINTAH Indonesia secara resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, Indonesia menggugat kebijakan renewable energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation yang dikeluarkan UE. Kebijakan-kebijakan tersebut dinilai telah mendiskriminasi produk kelapa sawit dan turunannya asal Indonesia. “Indonesia resmi mengirimkan

Request for Consultation pada 9 Desember 2019 kepada UE sebagai tahap inisiasi awal dalam gugatan. Keputusan itu diambil setelah diadakan pertemuan di dalam negeri dengan asosiasi/pelaku usaha produk kelapa sawit dan setelah melalui kajian ilmiah serta konsultasi ke semua pemangku kepentingan sektor kelapa sawit dan turunannya,” ungkap Menteri Perdagangan Agus Suparmanto melalui keterangan resmi, kemarin.

Agus menegaskan gugatan tersebut dilayangkan sebagai bukti ketegasan pemerintah dalam melawan diskriminasi yang dilakukan UE melalui kebijakan RED IIdan Delegated Regulation tersebut.

Pasalnya, diskriminasi itu telah memberi dampak negatif terhadap kinerja ekspor produk kelapa sawit Indonesia ke pasar \’Benua Biru\’.

Melalui kebijakan RED II, UE mewajibkan mulai 2020 hingga 2030, penggunaan bahan bakar di UE berasal dari energi yang dapat diperbarui.

Selanjutnya, Delegated Regulation yang merupakan aturan pelaksana RED II mengategorikan minyak kelapa sawit ke kategori komoditas energi tidak dapat diperbarui lantaran memiliki indirect land use change (ILUC) yang berisiko tinggi.

Tren negatif

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo menambahkan, inisiasi awal dalam gugatan atau proses konsultasi ke WTO merupakan langkah yang dapat diambil setiap negara anggota.

Gugatan bisa dilakukan suatu negara jika negara itu menganggap kebijakan yang diambil negara anggota WTO lain melanggar prinsip-prinsip yang disepakati dalam WTO. Diharapkan, melalui konsultasi tersebut, jalan keluar
terbaik bagi kedua pihak dapat ditemukan.

“Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah menyampaikan keberatan atas kebijakan UE ini di berbagai forum bilateral, baik dalam Working Group on Trade and Investment Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) dan pertemuan Technical Barriers to Trade Committee di WTO. Namun, kita harus tetap mempertegas keberatan itu melalui WTO,” ucap Iman.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan biofuel/Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke UE berada dalam tren negatif dalam lima tahun terakhir.

Pada periode Januari-September 2019, nilai ekspor FAME mencapai US$882 juta, turun 5,58% jika dibandingkan dengan periode yang sama di 2018 yang mencapai US$934 juta.

Pelemahan juga terjadi secara global. Sepanjang Januari-September 2019, total ekspor FAME tercatat US$3,04 miliar. Pada periode yang sama tahun lalu, nilai ekspor mencapai US$3,27 miliar.

 

Sumber: Media Indonesia