Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution memimpin Delegasi RI ke Brussels, Belgia, pada 8-9 April 2019, dalam kerangka misi bersama (joint mission) negara-negara produsen sawit.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan, pemerintah menyiapkan tiga opsi untuk melawan diskriminasi Uni Eropa terhadap produk sawit nasional. Mulai dari gugatan ke pengadilan, mengadukan ke Organisasi Perdagangan Internasional (WTO), hingga mengancam keluar dari kesepakatan Pans (Paris Agreement).

Tiga langkah itu, menurut Luhut, akan ditempuh jika u-paya negosiasi yang dilakukan menemui jalan buntu. Saat ini, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution tengah memimpin Delegasi RI ke Brussels, Belgia, pada 8-9 April 2019, dalam kerangka misi bersama (joint mission) negara-negara produsen sawit yang tergabung dalam wadah Council of palm oil Producing Countries (CPOPC).

Hal itu merupakan respons Indonesia atas kebijakan diskriminatif Uni Eropa (UE) yang mengklasifikasikan produk kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi / indirect land use change (ILUC) dan kini telah diadopsi dalam regulasi turunan (delegated act) dari kebijakan renewable energy Directive II (RED II). “Tujuan utama joint mission ini untuk menyampaikan kekecewaan dan melawan Delegated Act yang telah diadopsi Komisi Eropa pada 13 Maret 2019,” kata Darmin dalam keterangan resminya, kemarin.

Selama dua hari kunjungan tersebut, para delegasi akan melakukan pertemuan dengan komisi, parlemen, dan Dewan Eropa serta berbagai stakeholder yang terlibat dalam rantai pasok industri sawit di pasar Uni Eropa. Dalam misi ini, Indonesia datang bersama delegasi Malaysia dan Kolombia sebagai produsen terbesar sawit dunia.

Menurut Luhut, jika perundingan ini mentok, pemerintah akan membawa persoalan ini ke European Court. Proses gugatan di Pengadilan Eropa, kata dia, lebih singkat dibanding gugatan ke WTO yang memakan waktu bertahun-tahun sehingga lebih efektif dilakukan.

Energi hijau

Opsi lain yang bisa ditempuh, kata Luhut, ialah keluar dari Perjanjian Paris (Paris Agreement).”Opsi keluar dari Paris Agreement, kenapa tidak? Amerika saja bisa. Brasil saja bisa kok. Kenapa kita tidak bisa? Penghasil karbon ini sekarang paling banyak kan hutannya Indonesia, Brasil, sama Kolombia. Kolombia punya hutan juga besar.”

Untuk diketahui, Kesepakatan Paris atau Paris Agreement merupakan kesepakatan internasional berbasis hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pasca pada 2020. Hal itu diikrarkan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Prancis, yang dihadiri 195 negara pada lima tahun silam.

Dalam poin kesepakatan itu, negara-negara secara kolektif harus melaporkan kemajuan penurunan emisi karbon. Indonesia sebagai negara pemilik hutan tropis terbesar bersama Kolombia dan Brasil, berkomitmen mengurangi emisi karbon 29 %, demi mencapai tujuan bersama pertemuan itu, yakni menghentikan suhu pemanasan bumi agar tidak melebihi 2 derajat Celsius.

Selain jalur diplomasi, kata Luhut, pemerintah juga punya cara lain guna mengantisipasi berkurangnya pasar sawit di Uni Eropa, yakni dengan diversifikasi pasar ekspor ke wilayah lain serta terus menggenjot penggunaan sawit di dalam negeri. “Program B20, B30, hingga nanti BI00 atau green energy, itu akan kita dorong,” tegasnya.

Sumber: Media Indonesia