Prof. Byerlee dkk. dari Stanford University dalam bukunya The Tropical Crop Revolution (2017) menyebut bahwa perkembangan industri sawit dikategorikan sebagai suatu revolusi minyak nabati tropis. Revolusi minyak nabati tropis tersebut yang setara dengan revolusi hijau dunia tahun 1950-an, telah membawa perubahan besar dalam pasar minyak nabati dunia yang ditandai dengan dominasi minyak sawit dalam produksi maupun konsumsi minyak nabati dunia.

Keberhasilan Indonesia membangun perkebunan sawit yang berhasil merebut posisi sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia sejak tahun 2006 lalu, telah membawa perubahan besar baik dalam pasar minyak sawit dunia maupun pasar minyak nabati dunia secara keseluruhan. Pangsa Indonesia tahun 2016 mencapai 54 persen dari produksi minyak sawit dunia. Pada waktu yang bersamaan, minyak sawit juga berhasil mendominasi pasar 4 minyak nabati utama dunia (minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak sunflower) dengan pangsa 40 persen, menggantikan minyak kedelai yang telah 100 tahun mendominasi pasar minyak nabati dunia.

Pencapaian industri sawit nasional yang demikian impressive, telah mencuri perhatian publik global. Masyarakat umum, akademisi, LSM di negara-negara maju (EU, USA), lembaga-lembaga internasional, dalam beberapa tahun terakahir tekun memantau perkembangan industri sawit nasional. Berbagai bentuk kampanye negatif dan kebijakan protektif untuk menjegal sawit, merupakan bagian dari reaksi atas revolusi minyak sawit yang membuat produsen minyak nabati lain ketar ketir. Ironisnya, publik di Indonesia dimana kebun-kebun sawit berada sebagian besar malah belum mengetahui sudah seperti apa perkembangan industri sawit nasional. Jangan-jangan pemerintah juga belum mengetahui sudah seperti apa industri sawit yang mengguncang dunia itu.

Karena itu wajar saja, RUU Perkelapasawitan yang sedang digodog pada Prolegnas DPR-RI saat ini, terus diramaikan pandangan pro-kontra tentang urgensi RUU tersebut. Pandangan yang kontra melihat bahwa UU No. 39/2014 tentang Perkebunan yang telah ada sudah cukup sebagai dasar hukum Perkelapasawitan, sehingga lex specialis berupa UU Perkelapasawitan tidak diperlukan lagi.

Jika paradigma, konteks, lingkup RUU Perkelapasawitan hanya melihat industri sawit sama dengan bercocok tanam kelapa sawit, atau hanya mengulang apa yang sudah ada dalam UU perkebunan, jelas tidak perlu repot-repot lagi membuat undang-undang lex specialis tersebut. Namun jika melihat seperti apa perkembangan industri sawit kita saat ini dan ke depan apalagi dikaitkan dengan dinamika persaingan pasar minyak nabati dunia, kesimpulannya akan berbeda.

 

 

Sumber: Sawitindonesia.com