JAKARTA – Kementerian Perindustrian memproyeksikan industri agro pada tahun ini bisa tumbuh sebesar 7,1 0% atau lebih tinggi dibandingkan dengan target pada 2018.
Achmad Sigit Dwiwahjono, Pil. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, mengatakan target pertumbuhan sepanjang tahun lalu sebesar 6,93% secara tahunan.
Namun, hingga akhir kuartal 111/2018, industri agro telah mencatatkan pertumbuhan yang melampaui target tersebut, atau sebesar 7*23% secara tahunan.
Target pada rencana strategis industri agro pada tahun ini tumbuh 7,10%, tetapi diprediksi realisasinya akan lebih besar,” katanya kepada Bisnis, Rabu (2/1).
Sigit menuturkan bahwa pihaknya lebih optimistis dengan pertumbuhan industri agro pada tahun ini, salah satunya didorong oleh faktor perhelatan nasional pesta demokrasi pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden 2019.
Menurutnya, momentum politik tersebut biasanya akan memacu pertumbuhan industri agro lebih tinggi. “[Yang terpengaruh pemilu terutama sektor makanan dan minuman,” ujar Sigit.
Pada Jumpa Pers Akhir Tahun 2018, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto memaparkan kinerja beberapa industri agro, seperti industri crude palm oil (CPO), industri pengolahan kakao, dan industri gula.
Di industri pengolahan sawit, program implementasi B-20 mendorong pertumbuhan pasar domestik produk hilir sebesar 6.5% dan ekspor produk pangan dan biofuel kelapa sawit tumbuh sebesar 7,4%.
Dari pengolahan kakao, terjadi peningkatan tingkat utilitas menjadi 61% pada tahun lalu dari 59% pada 2017.
Ekspor cocoa powder dan cocoa butter meningkat masing-masing sebesar 18% dan 19% sehingga terjadi surplus perdagangan pengolahan kakao senilai US$770 juta.
Selain itu, ada pembangunan tiga pabrik gula baru, yaitu Rejoso Manis Indo di Blitar, Muria Sumba Manis di NTT, dan Pratama Nusantara Sakti di Ogan Komering Ilir pada tahun lalu. Investasi ketiga pabrik tersebut mencapai Rp 16,16 triliun.
PERMINTAAN NAIK
Dari pelaku usaha, Aryan Warga Dalam, Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), menyatakan saat ini pasar sedang tumbuh dengan baik dan permintaan dunia masih meningkat sekitar 2%.
Kondisi ini diyakini bakal berlanjut pada 2019. Kendati demikian, industri pulp dan kertas memiliki tantangan utama yang menghambat pertumbuhan secara optimal.
“Tantangan tahun depan itu karena kami punya daya saing, jadi dituduh dumping terus, seperti Amerika Serikat, Australia, India, Pakistan, dan Korea Selatan,” ujarnya.
Seperti diketahui, AS dan Australia menganggap Indonesia melakukan praktik Particular Market Situation (PMS). Menurut Arya, tudingan aksi dumping pulp dan kertas asal Indonesia oleh AS disebabkan oleh kesalahan negara itu dalam menentukan harga acuan komoditas tersebut.
Dalam kasus tersebut, AS mengacu pada harga pulp asal Malaysia yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Akibatnya, produsen Indonesia dituding memberikan subsidi atas produk ekspornya.
Pada 2017, AS menuding produk coated paper dan uncoated paper dari Indonesia dikenai subsidi sehingga harga jualnya lebih rendah. Adapun, di Australia tudingan serupa ditujukan kepada produk A4 copy paper yang masih dalam proses negosiasi di Organisasi Dagang Internasional (World Trade Organization/WTO).
Kendati demikian, Aryan masih optimistis industri pulp dan kertas bisa tumbuh 5% pada tahun depan. Apalagi, peluang pasar masih terbuka dan kapasitas produksi pulp dan kertas meningkat karena ada perluasan pabrik.
“Harga juga masih bagus, apalagi tahun depan [2019) ada permintaan kertas untuk pemilu,” katanya beberapa waktu lalu.
Sepanjang 2018, nilai ekpor kertas dan pulp diproyeksikan mencapai US$7 miliar. Dengan estimasi ini, nilai ekspor produk pulp dan kertas diyakini bisa melonjak 20,7% dari capaian 2017 sebesar US$5,8 miliar.
Saat ini, kapasitas produksi kertas Indonesia tercatat sebesar 16 juta ton per tahun dan pulp sebesar 11 juta ton per tahun. Pasar utama ekspor pulp dan kertas Indonesia adalah kawasan Asia, seperti China, Korea Selatan, India, Arab
Saudi, dan Jepang
Secara global, industri pulp Indonesia merupakan produsen terbesar ke-10, sedangkan industri kertas menempati peringkat ke-6. Di wilayah Asia, Indonesia merupakan produsen peringkat ke-3 untuk industri pulp dan dan ke-4 untuk industri kertas.
Sementara itu, Adhi S. Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), memproyeksikan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada tahun ini berada di rentang 8%-9%.
Menurutnya, pertumbuhan sektor ini bisa optimal apabila pemerintah menjalankan program untuk mendorong daya beli masyarakat. Pada tahun lalu, penurunan daya beli masyarakat terjadi di segmen menengah ke bawah.
Pasalnya, produk makanan olahan yang banyak dikonsumsi segmen ini, seperti mi instan, penjualannya tidak sebaik yang diharapkan. Padahal, produk tersebut hampir menjadi makanan pokok di segmen menengah ke bawah. Sementara itu, segmen menegah ke atas disebutkan tidak mengalami penurunan.
Sumber: Bisnis Indonesia