JAKARTA-Pemerintah menyatakan bahwa industri kelapa sawit nasional mampu membangkitkan perekonomian, di antaranya melalui penciptaan lapangan kerja bagi 16 juta orang. Karena termasuk sektor yang strategis maka pemerintah mengajak seluruh komponen masyarakat untuk mengawal industri sawit, termasuk dari kampanye negatif maupun kampanye hitam yang terus menyerang komoditas tersebut.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, industri sawit nasional telah terbukti berkontribusi membantu pemerintah dalam menuntaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru bagi 16 juta orang. Saat banyak sektor ekonomi terdampak pandemi Covid-19, industri sawit menjadi satu dari sedikit industri nasional yang tidak terkena dampak tersebut. “Industri sawit telah berkontribusi mengentaskan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja bagi sekitar 16 juta orang, sehingga industri ini merupakan sektor strategis yang perlu dikawal seluruh komponen masyarakat,” kata Airlangga.
Airlangga mengatakan hal itu saat menjadi pembicara dalam seminar daring bertema Perankelapa sawitTerhadap Pembangunan Ekonomi Nasional yang diselenggarakan PWI Pusat dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2021, Sabtu (6/2). Menilik keberlanjutan sawit yang mampu menopang pengembangan ekonomi nasional, operasional perkebunan sawit selama pandemi ternyata tetap berjalan meski memberlakukan protokol kesehatan yang ketat sehingga 16 juta pekerja di sektor sawit tetap memiliki pekerjaan dan penghasilan di tengah kelesuan ekonomi sepanjang 2020.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengatakan, dari sisi perekonomian regional keberadaan perkebunankelapa sawityang tersebar di 190 kabupaten di Indonesia juga telah berdampak positif terhadap perekonomian daerah sentra. “Berdasarkan perhitungan statistik peningkatan produksi CPO sebagai produk utama kelapa sawit berpengaruh positif dan signifikan terhadap perekonomian di daerah-daerah sentra perkebunan kelapa sawit,” kata Eddy.
Sawit sebagai komoditas yang paling produktif menyumbang 42% dari total suplai minyak nabati dunia, pertumbuhan permintaan minyak nabati dunia meningkat 8,50 juta metrik ton setiap tahun. Dalam kondisi pandemi Covid-19, sawit masih memperlihatkan kinerja ekspor yang baik, meski ekspor sawit tahun 2020 sedikit menurun namun hal ini karena dampak kekeringan yang terjadi tahun 2019. “Hal ini membuktikan ketahanan industri sawit Indonesia terhadap krisis ekonomi yang terjadi saat ini. Petani terjamin kesejahteraannya di tengah kelesuan ekonomi. Operasional di perkebunan sawit tetap berjalan normal dengan protokol kesehatan ketat,” jelas Eddy. Pada 2020, ekspor sawit nasional mencapai US$ 22,97 miliar.
Untuk semakin meningkatkan peran industri sawit dalam penciptaan lapangan kerja, kata Airlangga, pemerintah pun terus berkomitmen memberikan dukungan pada program biodiesel 30% (B30) yang untuk tahun ini memiliki target alokasi penyaluran 9,20 juta kiloliter (kl). Komitmen tersebut juga bertujuan menjaga stabilitas harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, juga sebagai upaya pemerintah dalam mencapai target 23% bauran energi dari energi baru terbarukan pada 2025. “Program B30 telah berkontribusi dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 23,30 juta ton karbondioksida (CO2) pada 2020. Indonesia memiliki luas kebun sawit sekitar 16,30 juta hektare (ha) yang menyerap sekitar 2,20 miliar ton CO2 dari udara setiap tahun,” kata Airlangga.
Melawan Kampanye Hitam
Dalam kesempatan itu, Eddy Abdurrachman menyatakan, pihaknya akan menggunakan strategi ofensif untuk melawan kampanye hitam terhadap komoditas sawit. Sebelumnya, pemerintah selalu menggunakan strategi defensif saat menerima kampanye hitam. “Misalnya, kita harus menempatkan sawit dalam level playing field yang sama dengan minyak nabati lain seperti rapeseed dan minyak kedelai,” ujar Eddy. Selama ini, hanya sawit yang dianggap berdampak negatif terhadap lingkungan, produk minyak nabati lain tidak disebutkan dampaknya. Strategi ofensif akan dilakukan dengan menyampaikan kekurangan produk dari minyak nabati lainnya. “Kalau di sini (kelapa sawit) dinyatakan merusak biodiversity, kami juga akan permasalahkan bagaimana pemanfaatan fertilizer pada rape-seed di Eropa dapat berpengaruh ke biodiversity,” kata Eddy.
Menko Airlangga menuturkan, Indonesia merupakan produsen minyak sawit utama yang menguasai 55% pangsa pasar dunia dan sawit berkontribusi terhadap 3,50% pertumbuhan ekonomi nasional. Keunggulan sawit dari komoditas lainnya adalah produktivitas
yang lebih tinggi sehingga tidak membutuhkan luas lahan yang banyak. “Untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit hanya butuh lahan 0,30 ha sementara rapeseed oil butuh 1,30 ha, sunflowerbutuh 1,50 ha, serta soya bean butuh 2,20 ha. Karena kondisi tersebut, perdagangan komoditas sawit hingga saat ini masih menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya kampanye hitam dari negara lain, dan pemerintah dan masyarakat wajib membela industri sawit,” kata Airlangga.
Selain melalui peningkatan sertifikat perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable palm oil System/ ISPO), pemerintah juga terus melakukan counter campaign terhadap kampanye hitam dari negara lain tersebut. “Berbagai cara dilakukan untuk menghambat dan mendiskreditkan kelapa sawit namun kami optimistis bahwakelapa sawitakan memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat,” jelas Airlangga. Pemerintah bersama stakeholder sawit telah melakukan upaya diplomasi, advokasi, dan kampanye positif terhadap kampanya negatif yang ditunjukan kepada kelapa sawit. Indonesia juga secara resmi telah melakukan gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan diskriminasi terhadap sawit, pemerintah juga berupaya mengembangkan dan menyamakan persepsi atau narasi bersama terkait sawit Indonesia dengan berbasis scientific evidence.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun mengimbau manajemen komunikasi industri sawit ditingkatkan. Selama ini, Dewan Pers menuntut media bersikap kritis termasuk kepada industri sawit, jika selama ini pemberitaan yang banyak muncul terkait industri sawil adalah hal negatif maka perlu ditinjau dari aspek suplai data yang ada. Terkait kesinambungan antara industri dan media, kata Hendry, industri dan media saling menopang demi kebangkitan ekonomi, kesejahteraan rakyat, dan media sendiri. “Kita bisa mencontoh Thailand, saat industri pariwisata (nasional) di sana turun, media bahu membahu menaikkan pamor wisata mereka sebab ketika wisata menurun, iklan dari industri ini pun juga hilang,” ujar dia.
Sumber: Investor Daily Indonesia